top of page

110 items found for ""

  • Identitas yang Kuat

    Oleh: drg. Karmelia Nikke Darnesti, MKM dan dr. Yeremia Prawiro Mozart Runtu We cannot please God with any practical success if we are not spiritually well grounded. Apa yang dibutuhkan sebuah gedung pencakar langit? Dasar yang kuat. Apa yang dibutuhkan sebuah pohon untuk tegak berdiri? Akar yang kuat. Apa yang dibutuhkan seorang Kristen agar tetap kuat berdiri di tengah badai dunia? Di dunia yang penuh cemar; antara sesamamu Hiduplah saleh dan benar; Nyatakan Yesus dalammu. (Di Dunia Yang Penuh Cemar, NKB No. 204) Tentunya cuplikan syair lagu di atas bukanlah lagu yang asing bagi kita. Dunia yang kita hidupi saat ini memang penuh kecemaran dengan dosa yang merajalela. Pergeseran dan perubahan banyak terjadi, mulai dari ilmu pengetahuan dan teknologi sampai cara pandang yang dimiliki setiap orang. Sadar atau tidak, kita diarahkan untuk hidup manja dengan pola hidup yang serba instan dan menambah kenyamanan. Sejauh mana kita ikut dalam perubahan yang dunia tawarkan? Dimanakah posisi kita saat ini? Masihkah kita hidup saleh dan benar di dalam Kristus? Sebagai tenaga Kesehatan, kita diharuskan untuk belajar seumur hidup. Kita diminta mengikuti seminar, bukan hanya untuk menambah SKP melainkan untuk membaharui ilmu dan menyesuaikan dengan perkembangan dunia kedokteran. Hal ini menjadi bukti bahwa dunia memang terus berubah dan berkembang. Menjadi seorang Kristen juga harus terus belajar Firman Tuhan, karena kitab Kolose 2:6-7 menyatakan, bahwa kita tidak hanya sampai menerima Kristus, tetapi juga harus berakar dan bertumbuh di dalam Dia agar dapat menjadi pribadi yang kokoh. Oleh karena itu, sebagai seorang dokter Kristen kita diminta untuk menjadi lifelong disciple. Kekristenan tanpa hidup dalam Kristus adalah kekristenan tanpa pemuridan dan Kekristenan tanpa pemuridan adalah Kekristenan tanpa Kristus (The Cost of Discipleship, 1995). Sebagai seorang dokter Kristen, kita memiliki identitas sebagai murid Kristus yang berarti kita hidup di dalam Dia. Identitas ini juga penting untuk menentukan stand point kita, yaitu ada di dalam Allah sebagai anak Allah yang dipilih dan dikuduskan untuk memberitakan perbuatan-Nya yang besar (1 Petrus 2:9). Dengan mengetahui posisi kita di dalam Allah, cara pandang kita dalam memandang sesuatu akan berubah. Kita akan melihat dengan cara pandang kristiani, yaitu bagaimana Yesus memandang segala sesuatu. Dengan kata lain, Allah telah memberi kita identitas agar identitas-Nya dapat diproklamasikan dan kemuliaan Tuhan terlihat dalam diri kita. Oleh karena itu, identitas sebagai murid Kristus perlu kita tanamkan dalam menghadapi dunia yang cemar ini agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh apa pun yang menimpa. Sebagai seorang murid Kristus yang telah ditebus dan diselamatkan, maka tidak ada jalan lain selain mengikut jalan Yesus. Mengikut Yesus harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pendidikan maupun profesi kedokteran kita saat ini. Lalu, bagaimana cara mengikut Yesus? Gene Rudd M.D. dan Al Weir M.D dalam buku Practice by the book: A Christian Doctor’s Guide to Living and Serving membagikan empat disiplin sebagai perisai dan pedang dalam perjalanan iman. Pertama, doa. Banyak pelajaran dari Alkitab yang bisa ditemui tentang doa dengan cara bertekun dalam firman Tuhan dan mendengarkan khotbah pendeta di gereja, tetapi pelajaran yang terbaik tentang doa adalah Tuhan menggunakan doa sebagai cara untuk membawa kita kepada-Nya. Tuhan menginginkan hati kita seutuhnya. Ya benar, kita berdoa dalam iman, secara pribadi, dan dalam persekutuan. Kita bukan hanya berdoa terus-menerus, tetapi juga harus berdoa dengan seluruh hati kita. Kedua, studi Alkitab. Jika seseorang mengamati hari demi hari kita, minggu demi minggu, bahkan tahun demi tahun kehidupan kita, adakah orang lain mendapati bahwa Alkitab benar-benar merupakan esensial di dalam hidup yang kita bangun, atau orang lain justru melihat bahwa Alkitab hanya pilihan atau bagian superfisial saja dalam hidup kita? 1 Petrus 2: 2 mengatakan kita harus terus haus akan firman-Nya sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni. Ketiga, persekutuan dengan orang percaya. Bukan hal baru sejak menjadi mahasiswa, calon dokter diharuskan untuk kuliah dari pagi hingga sore. Begitu pula saat menjalani peran sebagai koas di rumah sakit ataupun puskesmas. Saat melayani pasien pun, waktu dokter terbatas karena berbagai macam hal. Kesibukan sudah melekat dalam profesi dokter. Namun sebagai dokter dan dokter gigi Kristen, kita diminta untuk menyediakan waktu bersekutu bersama orang percaya lainnya. Ibrani 10: 24-25 meminta kita untuk saling memperhatikan supaya orang percaya saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Tuhan tidak akan mengubah peraturan-Nya karena kita adalah seorang yang sibuk. Persekutuan dengan orang percaya lainnya harus memainkan peran penting dalam hidup kita. Terakhir adalah penyembahan. Penyembahan kepada Tuhan adalah pengakuan siapa Tuhan itu: Pencipta, Pemelihara, Penebus, Dia yang ada, dan yang sudah ada dan akan datang. Tuhan adalah Alfa dan Omega (Wahyu 1:8). Beberapa dari kita lebih nyaman untuk menyembah Tuhan sendiri, namun Tuhan ingin juga agar kita datang bersama sebagai satu tubuh orang percaya yang mencari dan mengasihi-Nya. Tuhan telah meletakkan kita di gereja masing-masing, ini saatnya mengambil bagian dalam komunitas tersebut. Rutinitas yang ditawarkan dunia kerap mencuri waktu kita bersama Allah. Ketika kita tidak lagi memiliki waktu bersama Allah, lama-kelamaan kita akan melupakan identitas kita. Kita menjadi nyaman dengan diri sendiri, terlarut dalam kesibukan, dan melakukan banyak kompromi yang akhirnya menjauhkan kita dari Tuhan. Doa, Firman Tuhan, Persekutuan dan Penyembahan adalah tanda dan sumber dari kekuatan kita mengikuti Kristus. Hidup kekristenan yang benar - life – changing, kingdom – building, God – glorifying - tidak bisa hidup tanpa keempat aspek tersebut. Waktu pribadi bersama Tuhan juga momen yang penting untuk kita berhenti sejenak di tengah padatnya kegiatan dan cepatnya waktu berlalu. Hal ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang murid Kristus yang mana waktu disediakan untuk belajar Firman Tuhan. Di tengah dunia yang terus berubah ini, hanya ada dua pilihan yang dapat dibuat. Kita mengambil disiplin spiritual tersebut dan berjalan mengikut jalan yang sudah Tuhan tunjukkan atau mengklaim kita di jalan Tuhan namun sebenarnya mengikuti jalan dunia ini dan nyaman tinggal di dalamnya. Mari bersama-sama merenungkan sejenak akan identitas kita di hadapan Allah sebagai murid Kristus dan tanyalah pada kita: Hidupmu kitab terbuka dibaca sesamamu; Apakah tiap pembacanya melihat Yesus dalammu? (Di Dunia Yang Penuh Cemar, NKB No. 204). /stl

  • Pengabdian Tertinggi vs Penawaran Tertinggi

    Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. (Matius 6:24a) Seorang rekan alumni membagikan refleksi pengalaman pribadi dan pengamatannya terhadap rekan-rekannya yang sama-sama tumbuh di PMK. Menurut pengamatannya, masa 5-10 tahun pertama seorang alumni memasuki dunia kerja adalah masa transisi yang cukup menentukan apakah seseorang akan memiliki kehidupan iman yang menyatu dengan pekerjaannya sehari-hari ataukah kesuksesan dalam karir akhirnya berpisah jalan dengan kehidupan imannya. Mungkin orang tersebut masih rutin datang ke gereja di hari minggu, namun menjalani dua kehidupan yang terpisah dengan dua norma yang berbeda. Apa makna dari pengamatan tersebut? Pertama, bahwa masa beberapa tahun pertama di dunia kerja adalah satu masa transisi yang perlu disikapi dengan serius, karena dampaknya bisa seumur hidup. Kehadiran orang-orang yang berfungsi sebagai mentor, model (teladan), dan rekan-rekan sevisi merupakan sesuatu yang penting dalam masa transisi memasuki konteks kehidupan yang berbeda. Kehadiran mereka sebagai satu kesatuan disebut “mentoring community”. Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa masa transisi tersebut sebetulnya merupakan ujian terhadap spiritualitas yang selama ini dibangun di dunia mahasiswa. Apakah spiritualitas yang dibangun adalah spiritualitas sejati atau hanya kosmetik? Apakah iman seseorang dibangun di atas pondasi batu karang atau di atas pasir? Bagaimana dengan kehidupan Salomo? Tampaknya Salomo melalui masa awal kekuasaannya sebagai raja dengan langkah-langkah yang baik. Hal ini terlihat saat ia datang ke Gibeon mempersembahkan seribu korban bakaran di hadapan Tuhan. Satu tanda keseriusan dalam ibadahnya kepada Allah. Demikian juga ketika Tuhan menawarkan kepada Salomo untuk meminta sesuatu, bukan kekayaan atau nyawa musuh-musuhnya, melainkan hikmat agar bisa melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang raja. Tuhan sangat berkenan dengan permohonan tersebut dan bahkan memberikan kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah sebagai bonus (1 Raja 3:4-14). Hal besar lain yang dikerjakannya adalah membangun Bait Allah di Yerusalem. Setelah lebih dari 480 tahun berada di tanah perjanjian, orang Israel akhirnya bisa beribadah di Bait Allah yang permanen, bukan lagi di sebuah tenda (Kemah Pertemuan). Bait Allah yang megah tersebut dibangun dengan penuh rasa hormat akan kebesaran dan kemuliaan Allah dan merupakan masterpiece yang luar biasa yang bertahan hingga hampir empat ratus tahun kemudian. Namun, ketika kekuasaan Salomo makin kokoh seiring waktu berjalan, ia makin sulit memahami siapa dirinya dan siapa Allah. Ia merasa bebas menentukan sendiri apa yang benar dan salah. Sebuah contoh yang dicatat oleh Alkitab adalah ia memuaskan nafsunya dengan mengumpulkan isteri hingga sebanyak 700 orang dan gundik 300 orang. Selanjutnya bahkan, “isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain.” Sangat menyedihkan bahwa Salomo yang di masa mudanya sangat menghormati Tuhan, malah ikut menyembah dan mendirikan berbagai tempat ibadah dewa-dewa yang disembah bangsa-bangsa penyembah berhala di sekitarnya: Asytoret, Milkom, Kamos, Molokh, dan lain-lain. “Demikian juga dilakukannya bagi semua isterinya, orang-orang asing itu, yang mempersembahkan korban ukupan dan korban sembelihan kepada allah-allah mereka.” (1 Raja 11:5-8). Suatu ironi yang mengerikan. Seorang yang memulai perjalanan karirnya dengan melakukan hal-hal yang baik di mata Tuhan, kemudian menyelesaikannya dengan melakukan berbagai hal yang jahat di mata Tuhan. Dan yang lebih mengerikan, hal ini terjadi pada seseorang yang dianggap memiliki hikmat yang luar biasa dan pernah mengalami dua kali Allah menampakkan diri kepadanya (11:9). Ini menjadi satu peringatan bagi siapapun untuk tidak berpuas diri dengan rasa aman yang palsu. Bukan hanya komitmen awal yang penting. Kesetiaan mengikut Tuhan langkah demi langkah hingga akhir perjalanan hidup adalah sesuatu yang tidak bisa taken for granted. Apa yang sebetulnya terjadi di balik kehidupan yang semakin menyimpang tersebut? Bila dibandingkan dengan Saul dan Daud, tampaknya Salomo tidak memiliki sesuatu yang mereka miliki. Ketika Saul melakukan hal yang mendukakan Tuhan, masih ada Samuel yang menegur (1 Samuel 15). Meskipun kemudian Saul mengeraskan hati, itu persoalan lain lagi. Ketika Daud di puncak kekuasaannya melakukan hal yang jahat di mata Tuhan, masih ada nabi Natan yang berani menegurnya dengan keras (2 Samuel 12). Namun ketika Salomo melakukan hal-hal yang sedemikian jahat di mata Tuhan, sama sekali tidak ada catatan bahwa ada seorang seperti Samuel atau Natan yang berani menegur Salomo. Tidak ada seorang pun yang berani menegur Salomo. Padahal kejahatannya seperti bola salju yang kian lama makin besar. Sehingga dalam murka-Nya kemudian Allah memutuskan untuk mengoyakkan kerajaan Israel. Satu tantangan bagi alumni adalah ketika posisi di tempat pekerjaan makin meningkat sehingga orang-orang di sekitar kita makin sungkan untuk menegur ketika kita melakukan kesalahan. Ini situasi yang berbahaya. Dalam masa transisi memasuki dunia kerja kita butuh mentoring community yang menolong kita dengan panduan hikmat dari orang-orang yang sudah lebih dulu memasuki medan pertempuran, dengan contoh-contoh nyata yang inspiratif, dan dengan dorongan semangat di saat-saat yang sulit. Namun setelah melewati masa transisi bukan berarti kita tidak lagi membutuhkan komunitas yang mendukung. Kita terus membutuhkan orang-orang seperti Samuel bagi Saul dan nabi Natan bagi Daud, yang berani menegur saat langkah kaki kita sudah menyimpang terlalu jauh. Mutually supporting community merupakan pola relasi yang lebih sesuai bagi sebagian orang yang sudah menemukan kematangan setelah melewati masa transisi, seperti yang dialami oleh Daniel, Hananya, Misael, dan Azarya di Babel. Di setiap tahapan pada dasarnya kita membutuhkan orang-orang yang bisa mengingatkan ketika kita mulai menyimpang dari kebenaran. Kita membutuhkan rekan-rekan yang dengannya kita bisa saling mendorong maupun berani untuk saling menegur ketika langkah kita mulai keluar dari jalur. Hal sangat penting ini tidak dialami oleh Salomo dan sebagian alumni pelayanan mahasiswa yang memulai perjalanan hidupnya mengikut Tuhan dengan baik, namun mengakhirinya dengan buruk. Penjelasan lain adalah bahwa kejatuhan Salomo bukan disebabkan oleh kekayaan dan kekuasaan yang makin besar. Akar dari kejatuhan itu sudah ada dalam diri Salomo. Kekuasaan dan kekayaan yang makin besar hanya memberi jalan bagi Salomo untuk mewujudkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Cinta akan harta dan kekuasaan lah yang menjadi jerat bagi Salomo dan banyak orang. Sangat menarik untuk kita renungkan bahwa cinta akan uang bisa terjadi pada orang kaya maupun orang miskin (contoh: orang muda yang kaya – Mat 19:16-22 vs asisten nabi Elisa – 2 Raja-raja 5:20-24). Demikian pula sebaliknya sikap tidak terikat pada harta kekayaan bisa terjadi pada orang kaya maupun miskin (contoh: Zakheus setelah bertobat – Luk 19:1-10 vs janda yang memberi persembahan di Bait Allah – Luk 21:1-4). Kekayaan atau kekuasaan bukanlah akar kejahatan. Cinta akan uang dan kekuasaan-lah yang patut diwaspadai. Cinta akan uang dan kekuasaan, entah kita sudah memilikinya atau belum, adalah akar kejatuhan bila kita tidak selesaikan dengan jujur di hadapan Allah. Sebagai makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah, kita manusia diperlengkapi dengan berbagai kemampuan untuk meneruskan karya penciptaan dengan mengembangkan kehidupan sosial dan teknologi, yang kita kenal dengan sebutan “mandat budaya” (= mandat untuk mengembangkan peradaban yang berkenan di hadapan Allah – Kej 1:26-28). Seperti halnya karunia-karunia rohani diberikan Allah dalam bentuk yang berbeda-beda untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan berjemaat (1 Kor 12), demikian juga talenta yang berbeda-beda (dalam berbagai bentuk kecerdasan: matematis, bahasa, seni, dan sebagainya) diberikan Allah untuk kita bisa saling melayani dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Kejatuhan manusia dalam dosa (Kejadian 3) menyebabkan disorientasi dan bahkan amnesia. Kita jadi lupa bahwa setiap kemampuan yang kita sebut talenta dan berbagai kesempatan istimewa yang kita miliki dalam hidup ini adalah titipan Sang Pencipta. Semua talenta dan kesempatan itu bukan milik kita. Itu titipan Allah. Untuk didedikasikan bagi kepentingan sesama, orang banyak. Bukan untuk dimiliki sendiri. Apalagi untuk diperjualbelikan untuk keuntungan pribadi. Apapun namanya, mulai dari penawaran terbaik dalam berkarir, keuntungan maksimal dalam berbisnis, dan sebagainya. Dosa menyebabkan amnesia dan disorientasi tersebut. Apa dampak penebusan Kristus? Karya penebusan Kristus dimaksudkan untuk membebaskan kita dari disorientasi dan amnesia tersebut. Hidup yang semula berpusat pada diri sendiri diputar seratus delapan puluh derajat menjadi hidup yang berpusat pada Allah dan diabdikan untuk melayani sesama. Dalam pengenalan akan Allah kita dimampukan untuk menemukan sumber sukacita dan kepuasan sejati. Uang dan kekuasaan hanyalah sarana yang bisa digunakan secukupnya, sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengerjakan misi yang Allah percayakan dalam hidup kita (Filipi 4:12-13). Posisinya adalah pelengkap, bukan sesuatu yang perlu dikejar sebagai yang utama dalam hidup (Matius 6:24-34). Kita dipanggil dari kegelapan dan hidup yang mendatangkan murka Allah kepada terang Kristus yang ajaib untuk menjalani hidup sebagai gambar Allah, sebagai rekan-rekan sekerja Allah dalam karya pemeliharaan-Nya atas seisi dunia, dalam karya penciptaan-Nya yang terus berkelanjutan untuk mengembangkan peradaban umat manusia, dan dalam karya penyelamatan-Nya atas dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Kita dipanggil untuk menghadirkan “cicipan” kehidupan yang dipulihkan di bawah pemerintahan Allah (= Kerajaan Allah) lewat keahlian profesional dan setiap bentuk talenta dan kesempatan yang Tuhan titipkan kepada kita. Sehingga bukan hanya kita tidak patut mengejar kekayaan dan kekuasaan, melainkan kita dipanggil untuk semaksimal mungkin mendedikasikan keahlian profesional dan setiap talenta yang kita miliki untuk kepentingan Allah dan sesama. Pengabdian tertinggi, bukan penawaran tertinggi, yang perlu kita kejar dalam setiap helaan nafas kita! Hidup yang dibagikan bagi Allah dan sesama, seperti maksud Allah ketika menciptakan manusia. Dan seperti maksud Allah ketika Ia membebaskan kita dari belenggu dosa melalui karya salib Kristus. Segala kemuliaan bagi Allah! /kb

  • Dengan Gembira dan Tulus Hati

    Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. (Kisah Para Rasul 2:46a) Menyaksikan kembali apa yang dilakukan jemaat mula-mula (Kisah Para Rasul 2:41-47) mungkin membuat kita heran sekaligus iri. Jumlah yang besar itu—lebih dari 3.000 orang dewasa—tidak mengurangi kualitas persekutuan mereka. Biasanya—penyakit jemaat modern—semakin banyak anggota, semakin sulit memahami satu sama lain. Catatan Lukas memperlihatkan, jemaat mula-mula tidak membedakan antara yang rohani dan profan; antara ibadah dan kehidupan sehari-hari. Di satu sisi mereka bertekun dalam pengajaran dan persekutuan. Lukas juga menyatakan, mereka senantiasa berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Di sisi lain selalu ada warga jemaat yang menjual hartanya, kemudian membagi-bagikannya kepada warga papa sesuai kebutuhan. Mereka tak cuma bicara kasih, namun langsung mempraktikkannya. Kasih meraga dalam kehidupan mereka setiap hari. Barangkali kita merasa janggal dengan praktik seperti ini. Akan tetapi, itulah yang mereka lakukan. Jemaat mula-mula meyakini apa yang mereka miliki merupakan kepunyaan bersama. Intinya: mereka tidak ingin rekan seiman hidup kekurangan, apalagi mati kelaparan. Ibadah, Abudah, Abduh Sekali lagi, tidak hanya ibadah diutamakan, tetapi juga keseharian hidup. Dengan kata lain: setiap hari mereka beribadah melalui kata dan karya. Ibadah tidak dibatasi dan diikat ritus, tetapi merupakan gaya hidup. Itulah ibadah sejati. Kata ibadah dalam Perjanjian Baru (PB) diterjemahkan dari kata Yunani leitourgia (laos = rakyat, dan ergon = kerja), yang berarti kerja bakti yang dilakukan penduduk kota. Sejak abad ke-4 SM istilah itu dipakai untuk menggambarkan apa yang dibaktikan seseorang untuk kepentingan bersama. Ketika para penulis PB menggunakan kata ibadah memang tidak dimaksudkan untuk persoalan rohani belaka. Ibadah juga soal kerja bagi kepentingan banyak orang. Dalam bahasa Arab pun, kata ibadah—bahasa Indonesia meminjam dari bahasa Arab—sama akar katanya dengan abudah, yang berarti kerja. Kerja juga ibadah. Lagipula, baik ibadah maupun abudah juga seakar kata dengan abduh yang berarti hamba. Bisa disimpulkan, sebagai abdullah—hamba Allah—setiap orang harus melakukan baik ibadah maupun abudah. Berkenaan dengan ibadah hari Minggu dan abudah hari lainnya, Lukas menyatakan, jemaat mula-mula melakukan keduanya dengan gembira dan tulus hati. Hati Gembira Dalam hidup, hati gembira merupakan modal utama. Memang mudah dikatakan, meski sulit dipraktikkan. Mungkinkah bergembira saat hati luka? Mungkinkah bergembira saat yang didamba berbeda dengan kenyataan? Mungkinkah bergembira di tengah derita? Memang tidak mudah menjawabnya. Namun, pertanyaan yang sungguh layak diajukan: Apakah tidak ada alasan yang membuat kita bergembira? Pandanglah surya pagi! Perhatikanlah sekuntum mawar! Hiruplah wangi bunga melati! Perhatikan lelap bayi dalam dekapan bundanya! Rasakanlah kasih dan perhatian orang-orang terdekat. Apakah kita tidak merasakan kegembiraan ketika melakukan semuanya itu? Pandanglah diri kita sendiri! Bukankah kita masih hidup hingga kini? Diri kita sesungguhnya bisa menjadi alasan kuat untuk bergembira. Dunia sudah cukup suram. Janganlah tambah kesuramannya dengan kesedihan kita! Kegembiraan kita akan membuat orang sekitar turut gembira. Di atas semuanya itu, bukankah Tuhan gembala kita? ”Apakah yang kurang lagi,” mengutip Fanny Crosby, ”jika Dia panduku?” (band. KJ 408 Di Jalanku ‘Ku Diiring). Dan sebagai Gembala, Dia mengenali domba-dombanya satu per satu. Dia tidak memperlakukan mereka secara anonim. Dia juga menjamin kelangsungan hidup mereka. Apakah kenyataan ini tidak menggembirakan hati kita? Tulus Hati Agaknya ada kaitan gembira dengan tulus hati. Tulus berarti memandang orang lain tanpa prasangka. Tulus berarti bersikap jujur, terbuka, dan apa adanya. Kita sering sulit bergembira karena kita tidak mampu bersikap jujur terhadap diri sendiri, apalagi terhadap orang lain. Dan inilah masalah terbesar dalam hubungan antar sesama rekan kerja. Dalam bukunya Golok Pembunuh Naga dan Pedang Langit, Ching Yung berulang kali menyatakan bahwa seorang gagah akan melihat kegagahan dalam diri orang lain. Dua orang besar akan saling menghargai satu sama lain. Sedangkan pertemuan dua orang yang bersifat kerdil dan berpikiran sempit hanya berbuahkan pertarungan. Mereka hanya akan saling membuktikan siapa yang lebih hebat. Sejatinya, sikap tinggi hati setali tiga uang dengan rendah diri. Biasanya, orang yang rendah diri akan menutupi ketidakpercayaan dirinya dengan mengambil sikap sombong. Sebaliknya, orang yang rendah hati biasanya mempunyai rasa percaya diri yang tinggi karena telah mampu menerima kelemahan dan kekuatan dirinya secara wajar. Sehingga dia mampu menerima kelemahan dan kekuatan orang lain. Jika kita tidak mampu menerima kelemahan sendiri, jangan harapkan kita mampu menerima kelemahan orang lain. Demikian pula sebaliknya, hanya orang yang mampu menerima kekuatan dirinyalah yang mampu menerima kekuatan orang lain pula. Sesungguhnya itulah watak orang-orang yang terhisap dalam Kerajaan Allah. Di dalam kerajaan itu, Allah adalah Raja. Semua orang tak terkecuali adalah hamba-Nya. Bisa saja ada perbedaan talenta dan tanggung jawab. Namun, perbedaan talenta dan tanggung jawab bukanlah alasan untuk menilai dan merendahkan rekan kerja kita. Sebab bukan besar atau kecilnya talenta, tetapi bagaimana seseorang mampu mempertanggungjawabkan talenta dirinya. Pada kenyataannya, Tuhan memang tidak mengukur besar atau kecilnya talenta, tetapi apakah kita sungguh-sungguh dengan tulus dan setia menjalankan tugas kehambaan kita! Jika pemahaman ini disuntikkan dalam budaya kerja di rumah sakit atau kantor kita, bisa dipastikan setiap orang akan terpacu menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri tanpa rasa cemas atau khawatir. Sebab, dia yakin rekan-rekan sekerjanya siap mendukungnya! Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati. (Kis 2:46). Mari kita mulai menjalankan kehidupan kita, baik ibadah maupun abudah, layaknya jemaat mula-mula. Senantiasa bertekun menjalankan agenda dan panggilan Tuhan dengan sukacita dan tulus hati. Tuhan yang akan terus dan selalu memperlengkapi kita. /knd

  • Melayani Tuhan di tengah Bangsa

    “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” merupakan kalimat agung yang disampaikan Yesus saat murid-murid–Nya, Yakobus dan Yohanes, serta yang lainnya ingin mendapatkan kedudukan tinggi dan mulia bersama Dia (Markus 10:35-45). Apakah yang terjadi pada diri kita sebagai orang percaya akan sama dengan murid-murid Kristus dikala kita mengabdikan diri pada masyarakat? Sepertinya hal ini wajar saja karena kita memberikan seluruh pikiran, tenaga, keahlian kita dengan sebaik-baiknya bagi bangsa dan negara. Apakah ada yang salah? Sepertinya hal ini baik dan benar, namun jika kita diperhadapkan pada masalah besar yang terjadi di bangsa kita, bahkan seluruh dunia ini, maka akan nampak jelas keberadaan kita. Ambisi manusia mencari keuntungan dan nama sebesar-besarnya untuk diri  sendiri, sehingga ada yang acuh tak acuh dalam menyikap pandemi, ada yang sedikit peduli, ada yang melakukannya dengan terpaksa, terlebih lagi ada juga yang malah menyalahkan Tuhan dan orang lainnya. Dengan kata lain, ambisi kita mempengaruhi mata dalam melihat dan hati dalam merasakan sehingga betapa pentingnya kita memikirkan tujuan hidup kita yang sebenarnya, sama seperti Yesus dalam kehadiran-Nya di dunia ini. Panggilan dan kehadiran-Nya di dunia Melalui ayat di atas, kita melihat bagaimana Ia datang bukan untuk diri-Nya sendiri, melainkan untuk dunia yang telah jatuh dalam dosa. Banyak hal yang telah Ia kerjakan, misalnya dalam Yohanes 6:14, banyak orang ingin mengangkat-Nya menjadi raja, walaupun mereka sebenarnya tidak mengenal Dia yang turun dari surga karena mereka ingin menikmati roti yang diberikan-Nya dan ingin terus dikenyangkan dengan cara yang mudah. Namun, apakah Yesus tergoda oleh berbagai pujian yang diberikan manusia dan memberikan diri-Nya diangkat menjadi raja? Tentu saja jawaban-Nya dengan jelas tidak!  Sejak awal, Dia sudah memahami bahwa kehadiran-Nya di dunia adalah untuk melayani (memberi diri) sepenuhnya bagi pergumulan manusia yang menderita karena dosa, bahkan Ia akan memberikan nyawa-Nya mati di atas kayu salib menebus untuk menggantikan hukuman murka Allah yang harusnya ditimpakan pada semua umat berdosa. Itu sebabnya Ia hadir di kota-kota dan desa-desa bertemu dengan manusia yang bergumul secara fisik, mental, rohani, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Mat. 9:35). Sebagai orang percaya, kita hadir di dunia bukanlah kebetulan semata dan juga bukan untuk diri sendiri. Allah menciptakan kita menurut ‘gambar dan rupa-Nya’ serta  memberi  ‘kuasa’ (tanggung jawab) memelihara dunia ini. Hidup bukan untuk berdiam, melainkan berkarya bersama Dia memelihara ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Panggilan seperti ini membuat kita akan peduli pada penderitaan yang sedang dialami banyak orang karena pandemi.  John F. Kennedy (eks presiden Amerika) mengatakan:  ”Jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan padamu, tapi tanyakan apa yang bisa kau berikan pada negara” telah memberikan inspirasi padanya untuk mengabdi sepanjang masa pemerintahannya, dan menginspirasi banyak orang melakukan hal yang sama. 2. Penglihatan-Nya begitu tajam Dengan sikap hidup untuk membawa ‘kelepasan’ bagi manusia, setiap hari Ia berjumpa dengan mereka di berbagai tempat; Matius mencatat Ia mengajar dalam rumah-rumah  ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Surga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan (Mat. 9:35). Apa yang dilakukan-Nya keluar dari hati-Nya yang paling dalam, karena ‘melihat’ mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala (36), yaitu tidak ada perlindungan, bantuan, padang rumput, dan bimbingan, sehingga berada dalam kondisi yang menyedihkan, menyakitkan, dan membawa pada kematian. Apalagi jika serigala datang, mereka tidak berdaya dan akan mati dan dimakan oleh musuh-musuh  tersebut. Yesus melihat manusia begitu rapuh (fragile) dan dalam keberdosaannya, mereka tidak ada kekuatan untuk menyelamatkan diri sendiri. Belajar dari-Nya, kita perlu peduli melihat keberadaan masyarakat di bangsa ini yang menderita, ada banyak hal bisa kita telusuri, melalui televisi, internet, dan media massa lainnya, mendengar dari tetangga atau melihatnya sendiri; di mana setiap hari yang terkena wabah covid semakin bertambah, demikian juga mereka yang harus pergi dari dunia ini. Wabah ini tidak peduli etnis, jenis kelamin, status, ekonomi, dan kedudukan manusia; siapapun bisa dihampirinya. Hal ini membuat begitu banyak orang ketakutan tertular karena akan  membawa pada kematian. 3. Hati yang penuh belas kasihan (Compassion) Maka tergeraklah Yesus oleh belas kasihan (compassion) kepada mereka. Inilah hati yang peduli, Dia tidak bisa tinggal diam di tengah-tengah kekalutan dan penderitaan yang terjadi dan untuk itulah Ia datang. Ia menghampiri dan ikut serta merasakan pergumulan penderitaan manusia, serta membawa mereka keluar dari penderitaan tersebut dengan kehadiran-Nya, penghiburan-Nya bahkan kuasa-Nya yang menyembuhkan. Ia membawa manusia mengalami pertolongan dan jalan keluar sehingga mereka menikmati kasih sayang Tuhan yang luar biasa. Adakah hati kita dipenuhi dengan kasih seperti ini setiap melihat manusia yang mengalami kesakitan, kebingungan, dan ketakuatan karena ancaman kematian? Atau hati menjadi dingin, beku, bahkan tidak perduli (que sera sera) ? Kita perlu meminta pada-Nya hati yang dapat ikut merasakan, bukan hanya sekedar emosi/perasaan, melainkan sakit yang kita rasakan sampai pada ginjal (kidney), sehingga kita tidak bisa hanya diam berpangku tangan, melainkan mendorong kita bertindak untuk menolong, melepaskan yang  menderita dari kesakitan atau pergumulannya. Semua ini bisa kita alami jika kita memiliki kasih kepada sesama. Rasul Yohanes mengatakan, bagaimana kita dapat mengasihi Allah yang tidak kelihatan jika kita tidak mengasihi saudara yang dapat kita lihat. Dengan perkataan lain, jika kita mengasihi Allah, maka kita juga dimampukan mengasihi sesama kita (1 Yoh. 4:20-21). Kasih Allah menggerakkan kita untuk peduli dan ikut terlibat menolong dengan nyata sambil mengentaskan covid 19 ini. 4. Melayani dengan berkorban Pemahaman seperti ini yang Yesus lakukan, bahwa sepanjang hidup Ia tidak berambisi untuk mencari kenikmatan semu/pribadi (lihat  Matius 4:1-11). Dari waktu ke waktu Ia bekerja tanpa kenal lelah, merasakan kepedihan dan kesusahan manusia dan Ia tidak peduli pada cemoohan, kehinaan yang menghampiri sepanjang hidupnya. Yesus dengan tekun berkarya sampai memikul salib dan kematian di bukit Golgota. Ia tahu resiko besar yang akan dialami, bahkan dengan cinta-Nya yang melampaui keberdosaan manusia (unconditional). Ia tidak menghiraukan nyawa-Nya sedikitpun, melainkan bersedia menanggung murka Allah, yaitu mati secara mengerikan di atas kayu salib (hukuman untuk budak yang melakukan kejahatan keji). Ia mengajar orang percaya, sekaligus meneladani suatu panggilan yang mulia, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Inilah yang harus kita renungkan bersama. Panggilan sebagai orang percaya, bukan untuk hidup bagi diri sendiri, bukan untuk kenikmatan, melainkan kita yang sudah ditebus oleh darah-Nya yang mahal adalah hidup bagi Kristus. Kematian bukanlah merupakan ketakutan (sekalipun secara fisik itu bukanlah hal yang mudah) namun karena Kristus telah mengalahkan maut, maka dibalik kematian akan ada kebangkitan dan kehidupan selama-lamanya (bdk. Filipi 1:21). Itulah juga yang diikuti oleh Marthin Luther, bapak reformator saat pandemi (black death) melanda di zamannya, di mana dalam kurun waktu 2 tahun saja 25 juta orang meninggal di jalan-jalan dan berbagai tempat di kotanya Wittenberg dan berbagai belahan di Eropa. Luther tidak ikut lari menjauhkan diri seperti banyak dilakukan orang, melainkan ia dan istrinya yang sedang mengandung tetap tinggal menolong dan menghibur yang menderita melalui Firman dan doa, bahkan merawat mereka juga di rumahnya. Melalui hidup yang bersandar dan mendengarkan pimpinan Tuhan, dia dan istrinya menjadi contoh dan kesaksian bagi banyak orang percaya, sehingga mereka bersama menghadirkan Tuhan secara nyata bagi banyak masyarakat yang menderita. Melalui pandemi yang terjadi dan kerja keras orang-orang  percaya yang mengabdi dengan kesadaran resiko tinggi akan maut, banyak orang yang akhirnya menjadi pengikut Kristus. Kini,  dunia  sedang dilanda pandemi Covid-19. Ada banyak kesaksian dari dokter dan perawat  yang melayani dengan resiko tinggi akan kematian. Monica, misalnya, seorang dokter yang melayani di Mataro. Ia mengkhawatirkan akan kurangnya peralatan yang memadai untuk kunjungan. “Meskipun saya mencintai pekerjaan saya dan saya mengambil semua tindakan pencegahan, saya sangat menyadari kerentanan saya. Saya tahu bahwa satu-satunya yang dapat menyelamatkan saya sehingga saya dapat terus merawat pasien saya adalah Tuhan. Bahkan jika ini tidak terjadi, saya percaya saya harus berada di tempat saya sekarang, dan saya meminta kekuatan-Nya. Saya juga meminta kebijaksanaan, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk keluarga saya, sehingga kami dapat menghadapi apa yang akan terjadi” (kesaksian  lainnya bisa menyimak di https://evangelicalfocus.com/lifetech/5200/Christian-health-workers-facing-Covid19-I-am-very-aware-of-my-vulnerability). Hingga Sabtu 1 Agustus 2020, data Pengurus Besar IDI menyebutkan, ada 72 dokter yang meninggal akibat Covid-19 (Lihat  Kompas), merupakan data kedukaan terbesar sepanjang sejarah kedokteran di Indonesia. Mereka adalah para pahlawan di garda terdepan yang menangani masyarakat yang menderita covid di berbagai kota di Indonesia. Perjuangan mereka tidak ada yang sia-sia, melalui dedikasi dan pengorbanan ada banyak orang yang mengalami kesembuhan, sungguh suatu pelayanan yang mulia. Akhirnya, mengutip kalimat Rasul Paulus: “... jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22). O Ria J. Pasaribu, Executive Director Indonesian Care

  • Satu Agenda: Kristus!

    Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. (Filipi 1:21) Singkat, padat, dua kata tepat untuk ayat di atas. Surat Filipi ditulis Paulus waktu dia di penjara. Kita tahu dia dipenjara bukanlah karena dia melakukan kejahatan tapi karena kebenaran dan kebaikan yang dilakukannya demi Kristus dan Injil. Dari suratnya kepada jemaat di Filipi ini kita mengetahui bahwa pemenjaraannya sedikitpun tidak melemahkannya untuk hidup bagi Kristus dan Injil. Tapi justru dari dalam penjara, Paulus menulis surat yang sarat dengan ucapan syukur, memberi dorongan serta kesaksiannya yang begitu kuat kepada jemaat Filipi pada waktu itu, dan tentunya, saat ini kepada kita. Dari kisah Paulus ini, setidaknya kita bisa belajar dan bercermin pada tiga hal penting yaitu: Pertama: Kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Selain suratnya kepada jemaat Filipi, hal yang senada dapat juga kita lihat dari surat Paulus kepada jemaat Korintus dalam suratnya yang kedua yaitu 2 Korintus 11: 23-33, Apakah mereka pelayan Kristus? aku berkata seperti orang gila aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. Allah, yaitu Bapa dari Yesus, Tuhan kita, yang terpuji sampai selama-lamanya, tahu, bahwa aku tidak berdusta. Di Damsyik wali negeri Raja Aretas menyuruh mengawal kota orang-orang Damsyik untuk menangkap aku. Tetapi dalam sebuah keranjang aku diturunkan dari sebuah tingkap ke luar tembok kota dan dengan demikian aku terluput dari tangannya. Penderitaan dan kesulitan yang dialami Paulus bukan hanya itu. Kita juga bisa melihat waktu perpisahannya dengan para penatua jemaat Efesus dalam Kisah Para Rasul 20, Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata  dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi   yang mau membunuh aku.  Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa  yang berguna bagi kamu. Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ  selain dari pada yang dinyatakan   Roh Kudus   dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.  Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun ,   asal saja aku dapat mencapai garis akhir   dan menyelesaikan pelayanan  yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku   untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia   Allah.  Sebab itu berjaga-jagalah   dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun  lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Agak berbeda penuturannya, pada bagian ini, Paulus menyatakan bahwa dia banyak mencucurkan air mata. Kita tahu Paulus bukanlah orang yang cengeng. Hal ini tentu membuat kita semakin memahami bahwa kesulitan dan penderitaan yang dialami Paulus tidaklah mudah, istilah sekarang bukanlah penderitaan “kaleng-kaleng” tapi ada hal penting yang kita tidak boleh lupa bahwa kesulitan dan penderitaan bukanlah fokusnya. Kedua: Kristus adalah fokusnya. Paulus tahu apa arti hidup dan untuk apa dia hidup. Karena itu fokusnya sangat jelas dan kuat yaitu Kristus, sebagaimana tertuang dalam Filipi 1:21, Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Bagaimana Paulus menjalani hidup dengan Kristus adalah fokusnya? Bukankah Paulus punya masa lalu yang buruk? Ya, Paulus punya kelemahan juga. Paulus menghadapi banyak kesulitan dan penderitaan juga tapi bukan itu fokusnya. Dia berlari-lari kepada tujuan, sebagaimana tertulis di Filipi 3:10-14, Yang kukehendaki ialah mengenal   Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya,   di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,  supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan  dari antara orang mati.  Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna,  melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya,   karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.  Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku   dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku,  dan berlari-lari   kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan   sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus. Ditambah lagi bagaimana Paulus mengisahkan kisahnya dalam Kisah Para Rasul 20:18-23, Kamu tahu, bagaimana aku hidup di antara kamu   sejak hari pertama aku tiba di Asia   ini:  dengan segala rendah hati aku melayani Tuhan. Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata   dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi   yang mau membunuh aku.  Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa   yang berguna bagi kamu. Semua kuberitakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan-perkumpulan di rumah kamu;  aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi   dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat   kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus.  Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh  aku pergi ke Yerusalem   dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ  selain dari pada yang dinyatakan   Roh Kudus   dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Dia tidak punya agenda pribadi. Agendanya hanya satu, yaitu Kristus. Fokusnya adalah Kristus. Dia menyebut dirinya sebagai tawanan Roh. Menyerahkan dirinya tertawan Roh, agar hidupnya fokus pada Kristus, tidak lari dan menyimpang. Tidak tercemar dengan nilai dan kemilau dunia. Secara rela dan sadar menyerahkan diri sebagai tawanan Roh. Ketiga: Ada babak terakhirnya. Paulus kelihatannya menyadari bahwa hidup dan kesempatan itu terbatas. Akan ada waktunya tiba pada babak terakhir. Sebelum ke babak akhir akan ada babak demi babak yang harus diselesaikan. Jika mau mengakhiri babak terakhir dengan baik, tentu perlu mengakhiri setiap babak dengan baik. Karena itu Paulus selalu mengisi kesempatan dengan sebaik-baiknya. Paulus mengisahkan hal ini dalam Kisah Para Rasul 20:24-32, Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun , asal saja aku dapat mencapai garis akhir   dan menyelesaikan pelayanan   yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku  untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia   Allah. Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi,  kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah   kepadamu. Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan,  karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik   untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah  Anak-Nya sendiri. Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala  yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu  dan tidak akan menyayangkan kawanan itu. Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid   dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka. Sebab itu berjaga-jagalah  dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun  lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata. Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan   dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya. Pada bagian ini kita melihat bagaimana Paulus mengakhiri cerita pelayanannya di jemaat setempat dengan mempersiapkan jemaat tersebut, memberi teladan bagi mereka, dan menyerahkannya kepada Tuhan. Menyelesaikan babak ini dengan baik. Jika kita cermati kehidupan Paulus, dia  bukan hanya mengakhiri cerita babak satu dan dua dengan baik, tapi setelah dia menjadi hamba-Nya babak demi babak kehidupannya dijalananinya dengan baik sampai babak terakhir hidupnya. Sebagaimana kita tahu dari suratnya kepada Timotius dalam 2 Timotius 4:1-7, Paulus menceritakan bahwa dia telah mengakhiri pertandingan yang baik. Jadi, bukan hanya mengakhiri babak terakhir dengan baik, dan memang itu adalah sesuatu yang sangat penting tapi pertandingan yang dijalani dan diakhiri itupun harus jelas yaitu pertandingan yang baik. Bukan pertandingan sembarangan, bukan pertandingan duniawi tapi pertandingan yang baik, pertandingan yang sejatinya bagi semua pengikut-Nya, hamba-Nya, yang Kristus menjadi fokus kehidupannya. 2 Timotius 4:1-8, Di hadapan Allah dan Kristus Yesus yang akan menghakimi orang yang hidup dan yang mati, aku berpesan dengan sungguh-sungguh kepadamu demi penyataan-Nya  dan demi Kerajaan-Nya:  Beritakanlah  firman,  siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah  dengan segala kesabaran dan pengajaran. Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat,  tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran   dan membukanya bagi dongeng. Tetapi kuasailah dirimu dalam segala hal, sabarlah menderita,   lakukanlah pekerjaan pemberita Injil   dan tunaikanlah tugas pelayananmu! Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan   dan saat kematianku   sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan   yang baik, aku telah mencapai garis akhir   dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku  mahkota kebenaran  yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya;  tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya. Semua pasti akan ada akhir ceritanya. Pelayanan dari satu tempat ke tempat lain, dari jemaat yang satu ke jemaat lain dari peran satu ke peran lainnya. Dari satu babak ke babak berikutnya, semua ada akhir ceritanya. Kita pasti berharap akhir cerita hidup kita yang terbaik. Jika kita berharap akhir cerita kita adalah yang terbaik, berarti kita harus menjalani hidup saat ini, babak demi babak dengan baik sampai nanti tiba ke babak terakhir. Pada perikop di atas Paulus telah tiba di babak terakhir kehidupannya dengan sebuah keyakinan bahwa telah tersedia mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadanya tapi bukan hanya kepada dia, tapi juga kepada kita yang merindukan kedatangan-Nya, yang menjalani hidup bukan dengan sekedarnya, pelayanan sekedarnya, bekerja sekedarnya. Bukan! Tetapi, hidup dengan satu agenda yaitu: Kristus. Apa yang Kristus mau, apa yang Kristus perintahkan, itulah agenda kita. Tidak ada lagi agenda pribadi. Kristus dan hanya Kristuslah fokus dan segalanya. Kiranya Tuhan menolong kita hidup demikian. Amin.

  • Menghidupi Agenda Allah

    Simon mengenal pria yang sedang diikuti banyak orang di pantai pagi itu. Pria itu sedang menjadi bahan pembicaraan orang saat itu dan banyak orang mengikuti kemanapun Dia pergi. Pria itu, Yesus, yang kelak memberinya nama baru: Petrus, sangat menarik, penuh kuasa dalam mujizat dan pengajaran-Nya. Simon memperhatikan Yesus sambil membersihkan jalanya di samping perahunya. Pagi itu akan menjadi hari yang tak terlupakan bagi Simon dan teman-temannya. Hari yang mengubah agenda hidupnya. Setelah berlayar semalaman dengan sia-sia, apa yang terjadi di hari itu membuatnya sangat bersemangat: mendengarkan Yesus mengajar dari dalam perahunya, dekat dengannya, walaupun sempat bingung ketika pria itu menyuruhnya menebarkan jala di siang bolong. Belum surut rasa terkejutnya melihat jalanya yang robek karena penangkapan ikan yang sangat banyak, Simon mendengar Yesus berkata pada mereka, “Mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Yesus memberi mereka agenda hidup yang baru: dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Simon Petrus pun mengikat perahunya dan meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus. Sejak itu hidupnya tidak lagi seperti maunya. Dia yang sebelumnya dikenal sangat bersemangat dan reaktif kini tunduk dan fokus hanya pada agenda Tuhannya. Tiga setengah tahun kemudian, karena sedih, kecewa, setelah Yesus disalibkan, dia sempat kembali pada agenda lamanya: melepas ikatan perahunya dan menebar jalanya. Tuhan Yesus yang mengerti pergumulannya, menghampirinya kembali dengan kejadian yang membuatnya teringat akan kejadian pagi bersejarah  itu. Kembali Yesus memberinya agenda baru: menggembalakan domba. Peristiwa di pantai itu menjadi titik bangkitnya kembali: menjalankan agenda Allah. Sejak saat itu, setelah hari pentakosta, Petrus setia menjalankan agenda tersebut: membangun jemaat di Yerusalem, Samaria, Babilonia, dan Roma. Di akhir hidupnya, 30 tahun kemudian, kembali Yesus memberinya agenda lain. Berdasarkan naskah apokrifa  Perjanjian Baru, Acts of Peter, saat Petrus akan meninggalkan kota Roma untuk menyelamatkan diri dari penganiayaan kaisar Nero, Yesus menampakkan diri padanya di tengah jalan dan saat dia bertanya, “Kemanakah Engkau akan pergi Tuhan?, Yesus menjawab, “Aku datang untuk disalibkan kedua kalinya.” Petrus pun mengerti maksud Tuhan Yesus, itu berarti ada agenda yang harus dijalankan: menderita dan mati bagi Yesus. Dia pun kembali ke Roma dan kemudian mati disalibkan dengan posisi terbalik. Paulus, seorang yang dulunya sangat bersemangat menganiaya para pengikut Kristus, tetapi agenda hidupnya berubah setelah perjumpaannya dengan Kristus. Dalam surat-suratnya Paulus sering menyebut dirinya sebagai: Paulos doulos Iesou Christou, Paul, a slave of Jesus Christ atau Paulus, budak Yesus Kristus! Hidupnya sepenuhnya bagi Kristus, menjalankan agenda Kristus bagi-Nya. Ketika Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang tuan yang mempercayakan talenta pada hamba-hambaNya dalam Matius 25: 14-30, kata “hamba” yang digunakan dalam perumpamaan tersebut adalah juga “Doulos”. Seorang doulos adalah budak terendah yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, dia sepenuhnya milik tuannya. Dalam hidup seorang doulos tidak ada tempat bagi agenda pribadi. Seorang doulos tidak pernah mempertanyakan apalagi membantah perintah majikannya. Dia mutlak menaati perintah tuannya meskipun perintah itu sulit, berbahaya, dan dapat mengancam jiwanya. Apapun situasi dirinya, baik sedang dalam keadaan yang baik maupun tidak baik, perintah Sang Tuan harus dikerjakan. Bahkan seorang doulos tidak memiliki hak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi sekalipun dari tuannya. Agenda khusus ini tidak hanya milik Petrus dan Paulus. Semua kisah di perjanjian lama dan perjanjian baru menceritakan bagaimana Allah memberi agenda yang khusus pada tiap-tiap pribadi. Seperti Petrus dan teman teman rasul lainnya, seperti para saksi iman di gereja mula-mula, seperti jejak iman yang ditinggalkan para bapa gereja dan kaum martir, sesungguhnya Allah kita masih tetap dengan cara-Nya: mempercayakan agenda khusus pada tiap-tiap anak-Nya. Tiap masa dengan orang yang berbeda dan agenda yang berbeda-beda pula. Sebelum abad ke 19, kisah tentang perbudakan dan perdagangan budak merupakan hal yang lazim dilakukan khususnya di dunia Barat sampai kemudian seorang anggota parlemen di Yorkshire Inggris pada tahun 1784-1812 bernama William Wilberforce menjadi pemimpin penghapusan perbudakan dan perdagangan budak di Inggris. Pertemuannya dengan Kristus di usia 26 tahun membuatnya meninggalkan gaya hidup bangsawan yang hedonis dan berkomitmen untuk mengabdikan hidup dan pekerjaannya bagi Tuhan. Tuhan memimpinnya pada agenda untuk melakukan reformasi sosial di Inggris setelah dia bertemu dan dibina oleh John Newton. Sejak saat itu gerakan politiknya diwarnai dengan imannya dan kerinduannya untuk memajukan kekristenan dan etika Kristen dalam hidup pribadi dan masyarakat Inggris. Dia dan teman-temannya berkampanye untuk mengakhiri perdagangan budak, membuat pamflet, buku, demonstrasi, petisi dan melobi parlemen. Sampai kemudian tahun 1807 perdagangan budak dihapuskan dan tahun 1833 Kerajaan Inggris akhirnya memberi kemerdekaan pada semua budak di wilayahnya. Allah terus memberinya agenda lain dengan mempelopori gerakan reformasi moral di masyarakat Inggris. Pada masanya Allah memakai William Wilberforce untuk melakukan agenda reformasi sosial di Inggris. Tidak semua dari kita dipercayakan agenda yang besar dan spektakuler seperti Petrus, Paulus atau William Wilberforce. Kebanyakan dari kita mungkin hanya melakukan agenda yang terlihat biasa dan tak banyak diceritakan. Tidak pernah dibayangkan oleh Prof. George Mathew bahwa dia akan menghabiskan karirnya di tempat yang dia sebut “in the middle of nowhere”. Prof. Dr. dr. George Matthew, saat ini berusia 70 tahun, seorang dokter bedah digestif senior ternama  dari India, lulusan The Royal Adelaide Hospital, University of Adelaide. Dia seorang dokter misi sejak lulus sebagai dokter umum. Setia menjalankan agenda Tuhan dalam hidupnya. Dimulai dengan menjadi dokter di sebuah rumah sakit di tempat sangat terpencil di Bhutan. Lalu agenda Tuhan membawanya kembali ke rumah sakit Christian Medical College Velore untuk menjadi staf pendidik, dekan, dan direktur RS di sana. Dia memimpin puluhan proyek riset, mempublikasikan 65 karya ilmiah selama 21 tahun terakhir. Saat memasuki usia pensiun, setelah melalui pergumulan panjang, dia memilih untuk meninggalkan tawaran menjadi direktur beberapa rumah sakit ternama di India dengan pergi keluar India menjadi dekan di Fakultas Kedokteran salah satu universitas swasta di Indonesia dan menjadi direktur suatu lembaga riset. Kembali menjadi dekan, membangun rumah sakit pendidikan yang baru berdiri. Namun setelah beberapa tahun, Prof. George Matthew merasa Tuhan menggerakkannya untuk agenda lainnya. Seseorang men-sharing-kan suatu rumah sakit misi yang membutuhkan dokter di daerah rural India: Biru, Jharkhand. Rumah sakit kecil yang terletak di daerah yang sangat miskin, terbelakang, dan tertinggal di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keamanan. Setelah dia mengunjungi daerah tersebut, dia tahu ada agenda baru baginya. Bagi seorang dokter senior, cukup ternama di India dengan usia yang sudah lanjut (saat itu 67 tahun), dengan karir dan kehidupan cukup mapan, tidaklah mudah memutuskan untuk meninggalkan keluarga dan karirnya di Indonesia dan memulai dari awal sebagai dokter umum di rumah sakit pedalaman seperti itu. Kehadirannya, walaupun hanya dengan jabatan sebagai dokter umum tetapi dengan kemampuan bedah digestif berpengalaman tentu saja menjadi jawaban bagi daerah yang hampir tidak memiliki dokter ahli. Kesetiaannya pada pimpinan Tuhan untuk menjalankan tiap agenda Tuhan dalam setiap fase hidupnya terus dia jalankan walaupun dengan konsekuensi meninggalkan keluarga, kemapanan, dan nama besar. Para doulos-doulos ini menunjukkan ketaatannya: Petrus pergi meninggalkan perahunya, Paulus menganggap sampah semua atribut dan pencapaiannya, William Willberforce pergi meninggalkan kemapanan hidupnya, Prof George Matthew pergi meninggalkan karir dunia medis dan pendidikan yang gemilang untuk terus melakukan agenda Allah dalam hidup mereka. Hingga kini Allah masih terus bekerja di dunia yang dikasihi-Nya ini. Dia masih terus memilih banyak orang untuk melakukan agendaNya yang khusus bagi mereka. Seberapa jauh kita menyadari bahwa Dia juga sudah memilih kita untuk menjadi doulos-doulos kepunyaan-Nya yang taat melakukan agenda-Nya? Atau apakah justru kita sedang sibuk mengerjakan agenda pribadi kita selama ini? Mungkin kita berpikir, “ini agendaku akan kuberikan bagi-Mu” dan bukan sebaliknya “Mana agenda-Mu Tuhan untuk kujadikan agendaku”. “Maaf, saya sedang sibuk menyelesaikan kuliah S3”, atau “Saya masih terlibat di pelayanan gereja saat ini sehingga tidak bisa terlibat di pelayanan itu”, atau “anak-anak masih kecil”, dan banyak lagi alasan lain yang sering kita dengar ketika seseorang menolak tawaran untuk terlibat di suatu pelayanan. Kerap pula itu terucap tanpa terlebih dulu mempertimbangkan dan bertanya pada Tuhan apakah itu agenda yang Dia percayakan bagi kita. Di kehidupan dunia modern yang bergerak sangat cepat, berubah sangat dinamis, terhubung secara global, terdampak sangat kompetitif,  agenda siapakah yang sedang kita jalankan? Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan" Akankah kita berespon seperti Simon yang meninggalkan agenda hidupnya dan mengikuti agenda Tuhan atau malah berkata: “Maaf, jadwalku sudah penuh, silakan cari yang lain Tuhan”.

  • Luka Batin: Pandangan Integrasi

    Pernahkah kita berespon lebih sensitif dari kebanyakan orang. Misal, di dalam klinik, saat menghadapi pasien, kita terpicu marah, larut dalam perasaan iba atau takut bertemu dengan supervisor tertentu. Atau, dalam lingkup keluarga. Mungkin saja, hal itu muncul akibat suatu cedera emosional atau yang sering disebut sebagai luka batin yang belum pulih dalam diri kita. Siapa sih yang tidak pernah terluka? It’s normal but also not normal at the same time. Normal karena hampir semua orang mengalami. Tidak normal, karena pengalaman itu tidak seharusnya dialami. Luka batin adalah istilah yang sangat luas, namun dapat dimengerti sebagai luka psikologis yang mendalam dan menimbulkan tekanan yang berat pada seseorang. Luka tersebut timbul dalam berbagai pengalaman dan persepsi yang beragam, dari ringan hingga berat di sepanjang hidup kita. Yang pasti, meski tidak berbentuk, luka tersebut memberikan rasa sakit secara emosional.Kita dapat melihatnya dalam 3 bentuk rasa sakit emosional, yaitu: Core emotional pain, yaitu rasa sakit yang muncul ketika kita menghadapi situasi yang begitu sulit, dimana kita diliputi emosi negatif (rasa takut, marah, sedih, dan lain-lain, yang melebihi kemampuan kita untuk menghadapinya (terlalu banyak, dini atau sendiri). Luka ini bisa merupakan pengalaman dikhianati, direndahkan, hingga yang lebih serius seperti trauma. Untuk yang terakhir, dapat dikatakan bahwa meski mayoritas orang memiliki luka batin, tidak semua memiliki trauma (karena tendensi saat ini untuk over-labeling trauma). Relational pain, adalah rasa sakit yang muncul akibat kebutuhan kita akan caregiver (kasih sayang, penerimaan) yang tidak terpenuhi (penolakan, pengabaian). Self pain, adalah luka yang muncul akibat penolakan terhadap dirinya dari orang-orang yang signifikan dalam hidupnya. Kerap kali orang tersebut akan hanya menampilkan dirinya agar dapat diterima. Namun hal ini menimbukan luka sebab dia meyakini bahwa diri yang sebenarnya adalah buruk. Luka batin yang belum pulih akan berdampak dalam kehidupan kita sehari-hari. Bisa muncul, sebagai “inner child” (teori Jung) yang terluka, sehingga kerap kali menimbulkan respon tertentu terhadap situasi tertentu yang berhubungan. Misal, seperti kemarahan berlebih ketika direndahkan atau ketakutan terhadap suara orang yang keras. Bisa juga muncul dalam berbagai masalah relasi pola “attachment”, misalnya ketakutan jika ditinggalkan sehingga bertindak posesif atau paranoid. Selain itu bisa juga menetap sebagai emosi yang tidak diproses, misalnya “kepahitan”, yang merupkan bentuk kemarahan dan kebencian. Bahkan luka batin yang tidak dipulihkan bisa berkembang menjadi berbagai gangguan mental (gangguan depresi, kepribadian, dan lain-lain). Apa pun bentuknya, yang pasti luka batin perlu dipulihkan, sebagaimana dampaknya yang muncul. Secara umum, penanganan luka batin terutama melalui berbagai pendekatan konseling hingga psikoterapi. Pada kasus yang kompleks sebaiknya dibantu oleh tenaga profesional (misal, kasus yang dipersulit oleh komorbid gangguan mental, pola kepribadian atau pengalaman traumatis tertentu) Selain itu, pendekatan tersebut dapat diintegrasikan dengan Alkitab. Alkitab menjadi suatu nilai yang mendasari bagaimana kita memulihkan luka batin tersebut. Alkitab bukan saja mengenai kebenaran, tetapi juga kuasa untuk mengatasinya. Bukan juga sekedar pulih, tetapi juga transformasi. Alkitab mengajak kita untuk menempatkan fokus kita terhadap Allah dan kebenaran dan kuasa-Nya. Beberapa integrasi yang dapat kita tinjau dalam menghadapi luka batin. 1. Reframing Kognitif/Pola Pikir Pola pikir sangat erat dengan psikoterapi. Misalnya distorsi kognitif seperti “should/must”, membuat sesorang sulit menerima realita yang berbeda dengan idealismenya. Distorsi “minimizing” membuat seseorang tidak dapat melihat bahwa ada sisi-sisi baik dalam setiap situasi. Alkitab juga melihat perubahan pola pikir sebagai suatu bentuk pertobatan (metanoia = change of mind). Pola pikir tidak hanya berubah, tetapi perlu semakin selaras dengan Firman Tuhan. Pola pikir yang tidak bertumpu pada diri, tapi tetapi pada Allah yang penuh kasih dan kudus. Contohnya : berhenti melihat hidup secara fatalistik, tetapi melihat Allah yang hadir dan berdaulat. 2. Pendekatan Emosional : Menerima dan memaafkan Memaafkan merupakan langkah penting dalam proses penyembuhan. Memaafkan tidak sama dengan melupakan atau mengalihkan. Memaafkan bukan berarti menganggap benar, tetapi keputusan berkali-kali untuk tidak menyimpan, bahkan membuang hal yang tidak baik (kebencian, keinginan untuk membalas dan ruminasi negatif). Bukankah masa lalu yang sudah lewat hanya dapat menjadi pelajaran. Jika hal yang tidak baik, maka tidak mungkin diubah. Hanya perlu diterima dan dimaafkan. Alkitab banyak berbicara mengenai pengampunan. Dasar iman Kristen memaafkan bukanlah sekedar untuk merasa atau menjadi lebih baik, tapi karena kita telah menerima pengampunan yang limpah dalam anugerah. Fully known, but also fully accepted and loved. Kebenaran ini yang memampukan seorang Kristen untuk mengampuni 3. Menghadapi Present Moment (Mindful) Ketika kita mengalami pengalaman sulit, kita perlu belajar menghadapinya dengan bijak dan berhenti menghindari tanggung jawab dengan terus-menerus mempersalahkan orang lain atau situasi. Meskipun kita mungkin menjadi korban, tidak berarti kita harus hidup dengan mentalitas korban. Kita tidak perlu menghidupi masa lalu, tapi fokus pada saat ini. Tidak hanya being present in the moment, tapi juga menyadari God is present and also in every moment, in my past, now and my future. 4. Pendekatan holistik Pendekatan holistik berarti melibatkan banyak aspek. Bukan saja memperbaiki secara psikologis, tetapi juga perlu dukungan medis dan sosial yang memulihkan hingga aspek spiritual. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan pandangan yang hanya menekankan satu sisi saja (cukup dengan Alkitab). Secara medis, kehadiran terapis, diperlukan untuk suatu pola hubungan interaksi klien-terapis dalam mentransformasi luka-luka yang dimiliki. Bahkan pada kasus yang lebih berat seperti trauma, perlu teknik terapi khusus. Pada orang yang mengalami trauma, rasa sakit tersebut dapat tersimpan dalam memori tubuh sehingga tubuh berespon sedemikian rupa terhadap stressor. Hal ini perlu penanganan yang lebih lanjut, misal melalui teknik eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Apalagi, seorang yang mengalami trauma bukan saja kesulitan dalam coping di situasi sulit tertentu, tetapi juga dipicu dari pembelajaran yang hilang dalam masa tumbuh kembangnya karena kesulitan bertumbuh dengan trauma yang ada. Dalam pendekatan integrasi dengan spiritual Kristen, memang memerlukan kehadiran tenaga medis Kristen yang tidak hanya menunjukkan karakter Kristen, tetapi kemampuan untuk integrasi dengan nilai-nilai Biblikal. Masih banyak ruang lingkup dalam pelayanan psikiatri yang perlu digumuli, sehingga tidak hanya berakhir pada terapi sebagai kunci, tetapi menggunakannya sebagai jembatan untuk bersama pasien menggumuli dasar nilai-nilai kebenaran lebih lanjut. Jika kita menyelami dinamika luka batin dengan empati, sungguh tidak mudah setiap pengalaman yang dialami setiap orang. Bagi kita yang sedang berjuang, teruslah berproses dan melangkah bersama Tuhan. Jangan biarkan tersebut tetap menganga atau terkubur tanpa dipulihkan. Luka tersebut dapat terinfeksi, tidak sehat bagi kesehatan jiwa kita maupun orang sekitar kita. Kiranya luka-luka tersebut bukan saja dilewati dan pulih, tetapi menjadi perjalanan untuk bertemu dengan Allah dan kasih-Nya. /Tnp

  • Mengusahakan Kesejahteraan Bersama: Eksposisi Yeremia 29 Bagian II

    Pasal 29 harus dibaca bersama pasal 27-28 yang menggambarkan konflik sang nabi dengan sekelompok nabi. Pasal 28 menggambarkan konfrontasi langsung Yeremia dengan Hananya, sama-sama nabi di Yerusalem. Pasal 29 menggambarkan konfrontasi tak langsung Yeremia dengan Semaya, nabi di Babilonia, melalui surat menyurat. Surat Yeremia kepada orang buangan kloter pertama dikirimkan melalui perantaraan Elasa bin Safan dan Gemarya bin Hilkia, keduanya utusan raja Yehuda kepada raja Babilonia. Ini berarti isi surat itu direstui penguasa Yehuda untuk diketahui juga oleh penguasa Babilonia. Sudah pasti isi surat itu tidak bersifat menghasut orang Yehuda di pembuangan untuk melawan otoritas Babilonia, “martil seluruh bumi” (51:23). Apa isi surat ini? Pertama, mereka tidak perlu ragu merencanakan hidup dan menjalaninya untuk jangka waktu lama (ay. 5-6). Membangun rumah. Membuka ladang. Beranak cucu di antara mereka sendiri agar jumlah orang Yehuda di pembuangan tidak menyusut. Mereka tidak perlu berpikir pulang dalam waktu dekat. Kedua, mereka juga tidak perlu ragu untuk mengupayakan kesejahteraan (šālom) kota tempat mereka tinggal, sebab kalau kota itu sejahtera, mereka sebagai warga dengan sendirinya juga sejahtera. “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (ay. 7) Ada tradisi “berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem” (Mzm. 122:6), tetapi bagi umat di pembuangan untuk sementara waktu mereka tidak perlu memikirkan kesejahteraan Yerusalem, ibu kota kerajaan yang sudah hancur diserbu pasukan Babilonia. Meski Yehuda masih tegak tetapi babak belur. Untuk hidup sejahtera di pembuangan, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota-kota di Babilonia yang kini menjadi tumpuan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan kota adalah jaminan kesejahteraan mereka dan kesejahteraan itu tidak datang dari langit. Jika mereka hanya mengusahakan kesejahteraan pribadi ataupun kelompok sendiri, tiada jaminan kesejahteraan itu akan bertahan sementara kotanya sendiri (masyarakat) tidak sejahtera. Dengan prinsip hidup itu, Daniel meraih posisi tinggi di Babilonia, Nehemia mendapat posisi terhormat sebagai juru minum raja Persia, dan Ester menjadi ratu Persia. Mereka menjadi bagian dari kewargaan baru di luar Tanah Perjanjian dengan mengabdi kepada penguasa asing, bukan hanya untuk bertahan hidup tetapi juga untuk mengupayakan kesejahteraan kota dan negeri tempat mereka kini tinggal. Ternyata, mereka pada umumnya mengikuti nasihat Yeremia. Mereka membentuk keluarga baru, beranak cucu, membangun usaha dan memulai mata pencarian baru. Papirus-papirus dari Mesir dan lempengan batu dari Babilonia yang memuat kesepakatan semasa awal pembuangan secara tak langsung memperlihatkan komunitas Yahudi di pembuangan diperlakukan dengan baik. Oleh karena itu, tidak tepat membandingkan pembuangan Babilonia semasa Yeremia dengan perbudakan Mesir semasa Musa. Penghidupan orang buangan yang baik-baik saja, sebagai buah ketaatan mereka mengikuti nasihat Yeremia. Mengapa Yeremia menasihati seperti itu? Menurut nubuat yang diyakininya sebagai dari Tuhan, pembuangan itu akan berlangsung lama 70 tahun, lebih daripada satu generasi, sesudah itu barulah mereka dipulangkan (ay. 10, 14b). Dengan kepulangan itu, status umat bukan lagi orang buangan, orang terhukum, melainkan “orang-orang yang ditebus TUHAN” (Mzm. 107:2). Relasi keumatan mereka dipulihkan, sehingga jika mereka berdoa, Tuhan akan mendengarkan; jika mereka dengan segenap hati meminta petunjuk Tuhan, mereka akan menemukannya (ay. 12-14a). Masa 70 tahun adalah waktu yang lama, kebanyakan dari generasi pertama di pembuangan sudah meninggal, waktu yang lebih dari cukup untuk menikah, punya anak, membuka ladang, memiliki usaha tetap, layaknya hidup di negeri sendiri. Mereka tidak perlu berpikir pulang sampai masa pembuangan selesai. Apabila mereka mengikuti nasihat Yeremia, hidup mereka akan sejahtera sebagaimana dijamin firman Tuhan, Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera [šālom] dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (ay. 11) Sebagai demikian, surat terbuka Yeremia bisa dibaca sebagai surat penggembalaan untuk umat di pembuangan. Untuk sejahtera, mereka harus mengusahakan kesejahteraan kota tempat mereka tinggal. Orang Yehuda harus hidup seperti orang Babilonia, tidak perlu merasa sebagai orang asing di negeri orang, tidak perlu hidup memisahkan diri dari antara orang Babilonia, tidak menjadi penonton pembangunan negeri, tidak perlu memiliki sindrom minoritas, tidak perlu berpikir pulang ke Yehuda dalam waktu dekat, melainkan bersama orang-orang yang berbeda suku dan agama mengusahakan kesejahteraan kota dan negeri di Babilonia. Orang buangan, minoritas di Babilonia, hidup di bawah pemerintahan asing beda agama. Namun, hidup bermasyarakat bukan soal hidup di bawah penguasa beragama sama, melainkan soal kesejahteraan bersama. Kesejahteraan itu bukan buah usaha (kalangan) sendiri, melainkan buah kerja sama semua orang yang mengusahakan kesejahteraan bersama. Kriteria utama umat Tuhan Ketika memilih saat Pemilu juga bukan faktor seagama, melainkan seberapa serius dan mampunya calon itu mengusahakan kesejahteraan bersama. /stl Referensi: Robert P. Carroll, Jeremiah (Philadelphia: Westminster, 1986), 523.

  • Berlayar di Sistem Kesehatan Indonesia: Perpaduan Hukum, Politik, dan Kekristenan

    Pada awal tahun ini saya berkesempatan menuliskan sebuah artikel di Samaritan dengan judul, “RUU Kesehatan Omnibus Law: For Better or Worse”. Saat ini, Undang-undang kesehatan yang baru telah ditetapkan. Lanskap kesehatan Indonesia merupakan benang kusut yang kompleks, dan pada artikel ini gulungan benang kusut tersebut terjalin dari benang-benang hukum, politik, dan keyakinan agama, khususnya Kekristenan. Sebagai negara yang kaya akan keragaman budaya dan tradisi spiritual, sistem kesehatan Indonesia berada di persimpangan pengaruh-pengaruh yang beragam ini. Artikel ini menggali keterkaitan rumit di antara elemen-elemen yang ada, menelurusi peraturan perundangan di bidang kesehatan, sambil menggali inspirasi dari ayat-ayat Alkitab yang relevan dalam penekanan dimensi etika dan moral di pelayanan kesehatan. Prinsip-prinsip Kristen dalam Pelayanan Kesehatan Kekristenan memiliki akar sejarah yang mendalam di Indonesia dan secara signifikan memengaruhi filosofi pelayanan kesehatan negara ini. Pada hakikatnya, Kekristenan menekankan belas kasihan, penyembuhan, dan kepedulian terhadap yang sakit. Prinsip-prinsip ini telah membentuk pendirian lembaga-lembaga kesehatan Kristen yang menggabungkan keahlian medis dengan prinsip spiritual. Salah satu ayat Alkitab yang menyuarakan prinsip-prinsip ini dengan jelas adalah Markus 2:17: "Bukan orang yang sehat yang memerlukan tabib, melainkan orang yang sakit. Aku datang bukan untuk memanggil orang-orang benar, melainkan orang-orang berdosa." Perspektif Alkitab ini menegaskan pentingnya memberikan pelayanan kesehatan kepada mereka yang membutuhkannya, sejalan dengan komitmen Indonesia untuk akses yang adil terhadap layanan medis bagi semua warganya. Sekilas tentang Regulasi Kesehatan Indonesia Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan lahir sebagai regulasi yang komprehensif dalam menguraikan hak dan kewajiban individu, komunitas, dan penyedia layanan kesehatan di negara ini. Undang-undang ini mencakup berbagai isu terkait kesehatan, termasuk pencegahan penyakit, promosi kesehatan, layanan medis, dan pembiayaan kesehatan. Dalam praktiknya, undang-undang tersebut juga tidak lepas dari berbagai sarana dan sistem yang ada dalam bidang kesehatan, termasuk BPJS Kesehatan dengan berbagai pro dan kontra. Secara hukum undang-undang tersebut memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia. Namun, secara politik undang-undang ini menjadi titik tolak baru yang akan dimanfaatkan oleh para politisi khususnya dalam menghadapi tahun politik 2024. Tidak dapat dipungkiri bahwa kesehatan sebagai elemen vital dalam kehidupan manusia merupakan sektor yang selalu hadir dalam kampanye politik di Indonesia. Nilai Kekristenan dalam Hukum dan Politik Kesehatan di Indonesia Sebagai individu yang menghayati prinsip-prinsip iman Kristen, penting bagi kita untuk mematuhi dan menghormati aturan hukum yang ada di bidang kesehatan. Ketaatan terhadap regulasi kesehatan bukan hanya mencerminkan tanggung jawab moral terhadap tubuh yang dianugerahkan Tuhan, tetapi juga merupakan wujud kontribusi positif dalam menjaga kesejahteraan dan keselamatan sesama. Dalam melangkah sesuai dengan panggilan Tuhan, kita - mematuhi aturan kesehatan juga mencerminkan cinta dan perhatian terhadap sesama, menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua, serta menghormati otoritas yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Sebagai ilustrasi, dalam Roma 13:1-2, "Setiap orang harus tunduk kepada pemerintah yang berkuasa atasannya, karena tidak ada pemerintahan yang tidak berasal dari Allah dan pemerintahan yang ada ditetapkan oleh Allah. Jadi, siapa yang memberontak terhadap pemerintahan, ia memberontak terhadap perintah Allah." Dengan demikian, kepatuhan terhadap aturan kesehatan menjadi bagian dari tanggung jawab seorang Kristen dalam mematuhi perintah Allah dan berkontribusi positif dalam menjaga kehidupan yang sehat dan bermartabat. Partisipasi orang Kristen dalam sistem politik Indonesia, terutama dalam konteks politik kesehatan, memiliki implikasi yang sangat penting dalam mengadvokasi perubahan yang positif dan kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat. Dasar iman kristen dengan jelas mengandung prinsip cinta, belas kasihan, dan kepedulian terhadap sesama. Dalam 1 Yohanes 3:17-18, Alkitab menyatakan, "Jika ada seorang yang mempunyai kekayaan dunia dan melihat saudaranya dalam kekurangan, tetapi ia menutup hatinya terhadap dia, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap tinggal di dalam dirinya? Anak-anakku, janganlah kita mengasihi dengan perkataan atau dengan lidah saja, tetapi dengan perbuatan dan dengan kebenaran." Dalam konteks politik kesehatan, keterlibatan orang Kristen dapat memberikan suara yang kuat untuk mengupayakan kebijakan publik yang mendorong akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Kita dapat memperjuangkan alokasi dana yang memadai untuk sektor kesehatan, pelatihan tenaga medis yang memadai, serta peningkatan infrastruktur kesehatan di daerah-daerah terpencil. Dengan terlibat aktif dalam memantau implementasi kebijakan kesehatan, kita juga dapat membantu mencegah penyimpangan dan memastikan bahwa sumber daya yang dialokasikan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Keterlibatan dalam politik kesehatan juga memungkinkan kita untuk mengajukan perspektif etis yang diperkaya oleh dasar iman kristen. Kita dapat mempromosikan nilai-nilai seperti menghargai kehidupan, keadilan sosial, dan tanggung jawab bersama dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dalam semua langkah ini, orang kristen dapat berfungsi sebagai pembawa perubahan yang memainkan peran penting dalam membangun sistem kesehatan yang lebih baik, bermartabat, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan iman kristiani. Dalam konteks dinamika politik dan perubahan hukum terkait kesehatan di Indonesia, penting bagi kita untuk mengarungi perubahan tersebut dengan berhikmat. Meskipun politik dan hukum terus berubah seiring waktu, orang Kristen harus tetap teguh pada nilai-nilai dasar Kekristenan. Sebagaimana dalam Ibrani 13:8, "Yesus Kristus sama kemarin dan hari ini dan sampai selama-lamanya." Meskipun tindakan dan pendekatan dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman, prinsip-prinsip kasih, keadilan, dan belas kasihan tetap menjadi landasan yang tak tergoyahkan. Dengan menjaga keseimbangan antara fleksibilitas dalam mengikuti perubahan dan komitmen terhadap iman, kita dapat berperan sebagai agen perubahan yang berdampak positif dalam pembentukan kebijakan dan praktik kesehatan yang lebih baik di Indonesia. Kesimpulan Orang Kristen tidak dapat menghindar dari kompleksitas sistem kesehatan Indonesia, yang melibatkan peran hukum, politik, dan pandangan kekristenan. Kita baru saja mengalami mengalami perubahan signifikan terkait hal tersebut dengan adanya pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam konteks dinamika politik dan hukum yang senantiasa berubah, partisipasi aktif kita menjadi faktor penting untuk mewujudkan perubahan positif dalam pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat sesuai dengan pandangan iman kita. Sebagian besar tenaga kesehatan Kristen mungkin berpikir bahwa kontribusi kita dalam bidang politik dan hukum kesehatan tidaklah signifikan, tetapi kisah Daud melawan Goliat dalam Alkitab telah membuktikan bahwa kondisi fisik Daud yang kecil, tidak membuat Tuhan berhenti melakukan hal yang besar. (NIV 1 Sam 17:47, for the battle is the Lord’s, and he will give all of you into our hands.”) *)Penulis saat ini bekerja sebagai dokter manajerial di RS UKRIDA

  • Taat pada Panggilan Tuhan Setahap demi Setahap

    Shalom! Perkenalkan nama saya dr. Dwiastri Iris Sarwastuti, peserta MMC XVI asal Jakarta yang menempuh pendidikan kedokteran di UNAIR. Saya bersyukur Tuhan berikan saya kesempatan untuk menjadi peserta MMC XVI. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah kunjungan RS Misi di Lampung atau Serukam. Saya bertanya-bertanya, kira-kira pengemasannya akan seperti apa ya? Karena saya sangat tergerak soal pelayanan penginjilan, akhirnya saya memutuskan ikut. Sebelum saya mengunjungi RS misi tersebut, empat minggu pertama diisi dengan materi, praktik penginjilan dan praktik lapangan di lembaga/yayasan misi di Jabodetabek, explore, life sharing, dan mentoring. Saya yang baru menyelesaikan masa pendidikan kedokteran umum awalnya sempat berpikir bahwa saat-saat ini adalah akhir dari pelayanan aktif saya di masa muda karena harus pergi internship meninggalkan UK3 UNAIR. Namun, momen ini justru saya sadar bahwa ada ladang lain yang begitu luas Tuhan bukakan. Sepanjang hidup ini memang ada beberapa musim kehidupan, Tuhan akan bukakan setahap demi setahap. Sangat penting bahwa orang percaya terus bergumul bersama Tuhan akan apa yang Tuhan mau untuk dikerjakan. Saya bersyukur semenjak Roh Kudus melahirbarukan saya, Tuhan menetapkan arah hidup dan meletakkan visi di hati saya untuk dilibatkan dalam metaranasi Allah. Memang belakangan ada beberapa pergumulan yang membuat saya sempat ciut ketika melayani Tuhan. Namun, Tuhan membuktikan bahwa Ia mengasihi mereka yang terhilang sedalam itu dan Tuhan punya rencana bagi mereka. Tuhan menganugerahkan kasih di hati saya sehingga saya bisa mengasihi mereka lebih tulus. Saya juga sangat tertarik dengan penjangkauan orang-orang yang diabaikan masyarakat. Rasaya tidak dipahami, putus asa, dan jauh dari support system yang memadai tentu dapat membuat seseorang meragukan adanya kasih di dunia ini. Mereka butuh mendengar berita tentang Kristus yang mati dan bangkit membuktikan kasih Allah yang besar bagi mereka. Saya berdoa agar saya bisa menjadi teman yang memberitakan hal itu kepada mereka. Memasuki minggu kelima, seluruh peserta dibagi dalam 2 tim: ke Lampung atau Serukam. Ternyata saya adalah satu dari empat orang yang dikirim ke Serukam selama dua minggu. Untuk pertama kali, saya berkesempatan pergi ke pulau Kalimantan. Meski saya mengikuti kegiatan secara aktif di RSU Bethesda hanya satu minggu karena satu minggu lainnya saya isolasi mandiri karena positif COVID-19, saya bersyukur karena Tuhan memberi saya kesempatan melihat bagaimana para tenaga kesehatan Kristen melayan. Mereka mendoakan pasien (baik tatap muka, maupun saat persekutuan doa), memberitakan Injil, homevisit, mengedukasi pasien lebih serius, dan memperhatikan pergumulan hidup pasien secara fisik, mental, dan spiritual. Dengan melihat itu, saya meninggikan Tuhan karena Tuhan pernah beranugrah sedemikian besar atas daerah ini,  memberi hikmat, kasih, dan talenta bagi nakes-nakes ini, serta membuat RSU Bethesda berdiri selama puluhan tahun sehingga masyarakat mendapat berkat semacam ini. Saya sadar bahwa orang Kristen tidak boleh diam, apalagi Tuhan sudah berikan kesempatan mengenyam pendidikan kedokteran begitu baiknya. Kita harus bekerja dan mengabdikan diri untuk rencana Tuhan. Apa yang ada pada kita adalah pemberian, bukan untuk memberi kekayaan/kemuliaan bagi diri sendiri. Pelayanan RSU Bethesda minus secara keuntungan dan bergantung pada pemberian Allah melalui donatur. Hal ini membuat saya sadar bahwa mempraktikkan kasih jangan sekali-kali memikirkan soal untung dan ruginya bagi kita. Ketika berkomitmen mengerjakan sesuatu bagi Tuhan memang sering diizinkan untuk dianggap rugi dan bodoh oleh dunia, bahkan hidup Kristus pun seperti itu hingga disalib. Tetapi yang terpenting apakah kita menegakkan kehendak Bapa di surga sebagai Tuhan atas hidup kita dan menghadirkan kerajaanNya di muka bumi atau tidak. Karena Dialah pemilik hidup yang memberi apa arti hidup yang sesungguhnya bagi kita. Saya masih terus berdoa untuk panggilan pelayanan ke depan untuk mengerjakan mandat Injil yang membawa kebebasan bagi banyak orang berdosa sekaligus bersungguh-sungguh dalam menjalankan mandat budaya agar Kristus berkuasa atas segala pelayanan medis yang saya jalani dan mereka dapat menjadi manusia utuh yang beribadah kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan. Saya berdoa kiranya saya dan teman-teman MMC lain diberikan keteguhan memikul panggilan ini dengan iman pada Kristus. Amin. /stl *Penulis adalah salah satu peserta MMC XVI

  • Pembuangan: Eksposisi Yeremia 29 bagian I

    Eksposisi ini terbagi ke dalam tiga tulisan (Pembuangan, Surat Yeremia, dan Nubuat versus Nubuat). Pasal 29 merefleksikan isi dua surat Nabi Yeremia (ay. 1-23, 24-32). Surat pertama ditujukan kepada semua orang Yehuda di pembuangan Babilonia (ay. 1, 4, 20, 31 golā; ay. 22 gālut “orang buangan”). Isi surat itu direspons keras Nabi Semaya dalam bentuk surat juga. Surat Yeremia yang kedua merespons surat Semaya, untuk diketahui juga oleh orang buangan. Perjanjian Lama menggambarkan bangsa Israel mengalami beberapa kali pembuangan. Sesudah era Israel Raya (Saul, Daud, Salomo), semasa Rehabeam bin Salomo, Israel akhirnya pecah menjadi dua. Kerajaan selatan bernama Yehuda, gabungan dari 2 suku Israel (Yehuda, Benyamin), beribu kota Yerusalem, dengan Rehabeam sebagai raja pertama. Kerajaan utara menyebut diri Israel atau disebut juga Efraim, gabungan dari 10 suku, beribu kota Samaria, dengan Yerobeam sebagai raja pertama. Semasa Imperium Asiria berkuasa di Timur Tengah, Samaria ditaklukkan (722/1 SM) dan tamatlah riwayat kerajaan utara (2 Raj. 17:23). Banyak dari penduduknya ditawan ke pembuangan (Nah. 2:10-3:4), ke tiga koloni Asiria (2 Raj. 18:11 “Halah ... Gozan ... Madai”, BIMK). Yehuda masih bertahan sampai Asiria turun dari panggung sejarah Timur Tengah dan naiklah Imperium Babilonia. Karena memberontak dengan menolak membayar upeti kepada Babilonia, Yehuda ditaklukkan dan penduduknya dibuang ke Babilonia. Kitab Yeremia menyebut tiga kali pembuangan oleh Babilonia dengan cukup detail. “Inilah jumlah rakyat yang diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan: dalam tahun ke-7, 3023 orang Yehuda; dalam tahun ke-18 belas zaman Nebukadnezar, 832 jiwa dari Yerusalem; dalam tahun ke-23 zaman Nebukadnezar, diangkut ke dalam pembuangan oleh Nebuzaradan, kepala pasukan pengawal, 745 jiwa orang Yehuda; seluruhnya berjumlah 4.600 jiwa.” (Yer. 52:28-30) Pembuangan pertama terjadi pada 598/7 SM, yang kedua 587/6 SM, dan yang ketiga 582 SM. Nebuzaradan adalah kepala pasukan pengawal Babilonia sekaligus pejabat istana yang memimpin penaklukan Yehuda (2 Raj. 25:8, 11, 20). Pembuangan pertama terjadi semasa pemerintahan Yekhonya bin Yoyakim yang hanya memerintah tiga bulan (24:1, 8; bdk. 1 Taw. 3:16; Est. 2:6; Mat. 1:11) atau Konya kependekannya (22:24, 28; 37:1). Namanya ketika menjadi raja (throne name) adalah Yoyakhin. Yang ditawan ke pembuangan (kloter pertama) adalah para tetua, imam, nabi, pegawai istana, pemuka Yehuda dan Yerusalem, tukang dan pandai besi, Raja Yekhonya dan ibu suri (queen mother). Elite politik, kaum terpelajar, dan kaum profesional. Itulah jalan pintas Babilonia untuk merekrut SDM berkualitas dalam waktu singkat. Namun, kejatuhan Yehuda belum final atau, jika memakai istilah dalam pertandingan tinju, baru TKO (technical knockout), sang petinju jatuh dan bisa bangun lagi sebelum hitungan ke-10, belum KO. Ritual Bait Suci masih berlangsung. Babilonia mengangkat raja baru, Matanya bin Yosia (ay. 3), paman Yekhonya; nama takhta pemberian penguasa Babilonia adalah Zedekia dan ia memerintah 11 tahun (2 Raj. 24:17-18). Zedekia adalah raja terakhir Yehuda sekaligus mengakhiri riwayat dinasti Daud dengan pembuangan kedua penduduk Yehuda (kloter kedua). Selanjutnya, Kerajaan Yehuda sudah tidak ada dan Yehuda hanya sebuah wilayah taklukan Babilonia. Otoritas Babilonia mengangkat Gedalya, mantan pengurus rumah tangga istana Zedekia, sebagai administrator wilayah Yehuda dan pada penguasa baru ini Yeremia tinggal. Pusat pemerintahan Yehuda juga pindah dari Yerusalem ke Mizpa, 8 km di sebelah barat lautnya. Namun, Gedalya dibunuh oleh orang Yehuda yang ingin memberontak lepas dari Babilonia. Babilonia pun kembali datang menyerang Yehuda, kembali menawan 745 orang Yehuda ke pembuangan (kloter ketiga), sementara Yeremia mengungsi ke Mesir dan wafat di sana. Latar politik pasal ini adalah sesudah pembuangan pertama dan ketika Zedekia menjadi “raja yang duduk di atas takhta Daud” (ay. 16). Awalnya, Zedekia kooperatif dan baru di kemudian hari memberontak, pemberontakan yang mengundang serangan mematikan dari Babilonia. Tampaknya rakyat di pembuangan pertama dan sebagian penduduk di Yehuda masih menganggap Yekhonya sebagai raja dalam pengasingan dan Zedekia yang bertakhta di Yerusalem dianggap sebagai raja boneka. Orang Yehuda itu yakin bahwa Yekhonya akan pulang dalam waktu dekat. Ternyata, faktanya Yekhonya tinggal di pembuangan sampai wafatnya (bdk. 52:31-34). Usia kerajaan selatan 343 tahun, lebih lama 135 tahun daripada kerajaan utara yang berusia 208 tahun dan yang lebih dulu tamat riwayatnya. Ada waktu lebih dari satu abad bagi raja-raja Yehuda untuk belajar dari kejatuhan saudaranya di utara. Sayang, orang sering tidak belajar dari sejarah. Akhirnya, kesempatan Yehuda untuk memperbaiki diri habis. Kerajaan itu jatuh juga sekaligus berakhirnya dinasti Daud. Potret umat yang gagal “belajar menghormati TUHAN“ (Ul. 14:23, BIMK). /stl Referensi: Leslie C. Allen, Jeremiah (Louisville: Westminster John Knox, 2008), 322. Semua teks Alkitab merujuk TB, kecuali disebutkan lain. Photo by Daniel Wheeler: https://www.pexels.com/photo/castiolioni-structure-1179123/

  • Before Saying “I do”

    Pertemuan dengan pria/wanita idaman, menjalin relasi, menghadapi dan mengatasi konflik dan masalah bermodalkan kekuatan cinta sepasang kekasih hingga akhirnya menikah dan ditutup dengan kata-kata “happily ever after”: inilah kebanyakan kisah romantis yang digambarkan dalam cerita dongeng yang kerap kita dengar atau saksikan. Jarang sekali kehidupan tokoh tersebut setelah menikah ditampilkan. Paparan tontonan masa kecil, lagu, atau novel yang tampaknya indah mengenai relasi, telah menjebak kita dalam ilusi akan relasi yang harmonis, bebas konflik, ataupun bila ada konflik adalah antara kita dengan dunia ini, bukan antara saya dan pasangan saya. Media sosial memudahkan kita untuk melihat hidup orang lain, termasuk gaya berpacaran kebanyakan orang. Ada hal yang baik yang dapat diteladani, namun ada pula hal yang mungkin dulu dianggap tabu saat ini dianggap biasa. Bahkan tak jarang, hal yang seharusnya dilakukan dalam kekudusan pernikahan, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja untuk dilakukan sebelum menikah. Dunia kini membombardir kita untuk melakukan apa saja bersama asal saya dan pasangan saya bahagia. Bila sudah tidak bahagia, saya dapat mengakhiri hubungan ini. Mengapa berpacaran? Tidak ada kata “pacaran” dalam Alkitab, namun Alkitab berulang kali menuliskan kata “pernikahan”. Pandangan Alkitab tentang pernikahan adalah pemberian Allah, antara satu laki-laki dan satu perempuan, dengan tujuan untuk melayani Allah (Kejadian 1-2). Relasi Allah dengan umat-Nya dan Kristus dengan gereja-Nya digambarkan sebagai relasi pernikahan. Dalam pernikahan, suami menjalankan perannya sebagai kepala yang rela berkorban dan istri memiliki sikap tunduk yang saleh kepada suami. Institusi pernikahan menjadi gambaran hidup dari Injil kasih karunia. Berpacaran adalah suatu tahap antara seorang pria dan wanita sebagai persiapan memasuki tahap pernikahan. Pacaran melibatkan emosi dan jiwa, sehingga tidak dipungkiri bila kita mengalami sukacita, rasa ingin selalu bersama atau kerinduan untuk mengenal lebih dalam dan akan ada kemarahan atau air mata bila mengalami konflik. Pacaran sebagai gambaran bagaimana kita membangun kedekatan secara spiritual, emosional, dan fisik dengan pasangan kita untuk tujuan pernikahan. Visi pernikahan yang Firman Tuhan berikan-lah yang memampukan kita untuk berpacaran dan berpacaran dengan baik karena setiap pasangan laki-laki dan perempuan yang menjadi relasi pacaran tentu ingin berlanjut ke dalam tahap pernikahan. Sangat penting untuk mempersiapkan pernikahan selama masa pacaran. Bagaimana peran saya dan pasangan saya dalam mempersiapkan pernikahan? Jika pernikahan begitu kudus dan penting, bagaimana sebaiknya pasangan yang sedang berpacaran mempersiapkan diri mereka sebelum mengatakan ”Saya bersedia” di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya? Beberapa hal berikut dapat kita renungkan dan diskusikan bersama: 1. Apakah saya dan pasangan saya sama-sama orang percaya? Kerinduan memiliki pernikahan yang sejalan dengan visi pernikahan yang Tuhan berikan memerlukan pemahaman yang sama antara kita dan pasangan kita. Bagaimana mungkin kita dapat menjalani visi yang Tuhan berikan bila pasangan kita tidak memiliki iman yang sama (2 Korintus 6:14). 2. Memahami peran yang akan kita hadapi dalam masyarakat Allah menciptakan pernikahan yang terdiri dari seorang pria dan seorang wanita. Kita memahami kelemahan dan kekuatan masing-masing. Hal ini menyadarkan kita kalau kita membutuhkan satu-sama lain sebagai pria dan wanita. Tidak ada perasaan saya sebagai pria lebih hebat karena saya lebih kuat atau saya sebagai wanita dapat melahirkan karena itu saya lebih hebat. Tidak demikian karena masing-masing memiliki peran yang sudah Allah berikan. Peran sebagai pria dan wanita sebagai orang tua juga Allah berikan untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kejadian 1:28). Beranak cucu dan bertambah banyak bukan hanya memperoleh keturunan. Lebih daripada itu, memasuki pernikahan dan menjadi orang tua, kita memiliki tugas mewariskan iman dan hal-hal yang baik kepada anak-anak kita sebagai penerus generasi yang bertanggung jawab dalam masyarakat. 3. Membuat batasan untuk mendekatkan Masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal lebih seseorang yang berpotensi menjadi pasangan hidup kita. Ketika memiliki teman yang berpacaran pun kita dapat mengetahui adanya perbedaan kedekatan seseorang dengan pacarnya dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Kedekatan dalam masa pacaran ada yang perlu dibangun, dipertahankan, dan ada juga yang perlu dibatasi. Waktu dalam masa pacaran menolong kita untuk melihat bagaimana karakter satu sama lain, respon saat menghadapi konflik dalam hubungan (internal) atau di luar hubungan (eksternal), kebudayaan keluarga yang mungkin berbeda, relasi dengan komunitas, relasi dengan rekan sekerja, sikapnya saat lelah dan sedih, dan banyak hal lainnya. Tidak dipungkiri, masa pacaran membangun kedekatan secara emosional dan fisik dan bila kita tidak menjaga diri kita dan pasangan kita, kita rentan jatuh dalam godaan seksual. Iblis tidak akan membiarkan kita memiliki relasi yang kudus dan menyenangkan Allah. Oleh karena itu, kita perlu untuk terus berwaspada dengan kedekatan yang dapat membuat kita jatuh dalam dosa seksual. 4. Libatkan komunitas dalam relasi “Jikalau tidak ada pimpinan, jatuhlah bangsa, tetapi jikalau penasihat banyak, keselamatan ada” (Amsal 11:14). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, masa pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Namun tidak menutup kemungkinan mata kita menjadi “buta” karena perasaan sedang berbunga-bunga ataupun menjadi “buta” karena amarah saat berkonflik dengan pasangan. Sehingga dengan adanya orang-orang percaya di sekitar kita yang juga merindukan kita memiliki relasi yang baik dalam Tuhan dapat menolong kita untuk memiliki pandangan yang lebih luas mengenai pasangan kita dan relasi kita. Mengenal pasangan tidak bisa hanya berdua. Kita perlu meminta pertolongan orang lain yang dapat kita percaya untuk melihat kehidupan berpacaran kita. Selain itu, kita dapat semakin mengenal pasangan kita dalam bagaimana sikapnya dengan orang lain baik orang tua, pasien, teman sesama jenis ataupun lawan jenis, ataupun sikapnya dengan orang dengan berbagai karakter. Relasi seperti apakah yang kita inginkan? Apakah relasi yang menyenangkan diri sendiri atau relasi yang berkenan kepada Allah? Kiranya Allah menolong kita untuk mempersiapkan diri (bagi yang sedang berpacaran) dan menjalani pernikahan (bagi yang sudah menikah) seturut dengan yang Dia rancangkan. *Penulis saat ini bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Bandung /stl Referensi: https://www.desiringgod.org/articles/when-the-not-yet-married-meet Sacred Marriage. Gary Thomas. 2011. Penerbit: Katalis

Hubungi Kami
bottom of page