Tiada hari dilalui tanpa kata-kata. Berbicara merupakan aktivitas paling umum dari manusia. Seseorang bisa mengucapkan ribuan kata per hari terlepas dari kepribadiannya yang mungkin pendiam. Berbagai konteks komunikasi dijalani setiap hari seperti obrolan bertukar sapa antar tetangga, memesan makanan di restoran, bercanda dengan kawan, deep talk dengan pasangan, konsultasi antara dokter dan pasien, mendiskusikan kasus bersama sejawat, bahkan membicarakan calon presiden selanjutnya.
Setiap perkataan yang kita ucapkan dapat membangun, tapi tidak sedikit juga yang tidak bermakna dan akhirnya malah menyakiti. Bahkan mungkin, kita sendiri pernah dilukai melalui perkataan seseorang. Kesimpulan yang umum ketika hal yang menyakitkan terjadi lewat sebuah pembicaraan adalah nada dan cara berbicara yang perlu diperbaiki. Tapi, apakah dengan mempelajari teknik komunikasi yang tepat dapat memastikan tidak ada orang yang tersakiti lewat perkataan kita? Artikel ini ingin mengajak setiap kita yang membaca untuk merenungkan kembali fondasi dan tujuan dari setiap perkataan kita.
Hal yang menganggumkan adalah fakta bahwa kata-kata yang pertama kali didengar Adam dan Hawa adalah perkataan yang diucapkan Allah sendiri. Allah yang mencipta menggunakan bahasa yang dapat dipahami ciptaan-Nya untuk menyatakan diri-Nya, rencana-Nya, dan tujuan-Nya. Adam dan Hawa pun diizinkan berespon kepada Allah menggunakan kata-kata yang sama. Alkitab menyatakan kepada kita betapa indahnya komunikasi antara Allah dan manusia yang menggambarkan relasi Pencipta dan ciptaan yang begitu dekat. Hal ini menyadarkan kita bahwa setiap perkataan yang diucapkan manusia sejatinya adalah milik Allah karena Dia-lah yang mengizinkan kita berbicara. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap kata yang kita ucapkan memenuhi standar Allah dan sesuai dengan kehendak-Nya.
Sayangnya, keindahan relasi komunikasi di atas telah berlalu sejak Adam dan Hawa melanggar perkataan Allah dan memilih mendengar pembicara lain yang memutar-balikkan kebenaran. Iblis menawarkan kebohongan yaitu penafsiran yang salah terhadap perkataan Allah yang akhirnya membuat Adam dan Hawa melawan Allah. Kita semua tahu apa yang terjadi setelahnya (lih. Kejadian 3). Melalui perkataan yang seharusnya menyatakan kasih, Adam dan Hawa akhirnya saling menuduh dan menyalahkan. Mereka bahkan berani menyalahkan Allah atas apa yang terjadi.
Disini kita mengerti bahwa bila perkataan yang diucapkan tidak berdasarkan kebenaran dari Allah dan tafsiran yang tepat atas perkataan-Nya, maka pilihan lainnya hanyalah kebohongan dari Iblis. Saat ini kita tinggal di dalam dunia yang telah jatuh dalam dosa. Perkataan manusia kini penuh dengan kecaman, tuduhan, kebencian, ketidaksabaran, kebohongan, kutukan, dlsb. Ah, saya tidak seperti itu! Benarkah? Kita mungkin tidak menggunakan perkataan yang kasar atau berisi kutukan. Tapi, berapa dari kita yang pernah menggunakan kata-kata untuk menekan, menyinggung ataupun menyakiti lawan bicara kita sebagai bentuk pembelaan diri?
Yakobus 3:9-10, Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Kita perlu mengakui dengan rendah hati bahwa setiap perkataan kita nyatanya berakar bukan hanya pada Firman Tuhan, tetapi juga perkataan iblis. Dengan mengakui ini kita menerima fakta bahwa masalah utama komunikasi kita bukanlah pada teknik komunikasi, melainkan sikap hati dibaliknya. Mementingkan kepentingan diri sendiri membuat tafsiran kita terhadap perkataan Allah seringkali jauh melenceng dan berakhir dengan mengatakan apa yang bukan merupakan kehendak-Nya.
Kita perlu berbicara dengan kesadaran bahwa Allah telah memberikan signifikasi pada kata-kata kita. Kita berbicara sebagai duta Allah. Seorang duta Allah berbicara berdasarkan pemahaman yang jelas tentang Firman Allah. Duta Allah berbicara hanya dengan cara Allah. Tujuan Allah tidak dapat dicapai dengan perkataan penuh ancaman, rasa bersalah, ataupun amarah yang mementingkan diri sendiri karena itu bukanlah karakter Allah. Harapan satu-satunya agar kita dapat berkata-kata seperti apa yang dikehendaki Allah adalah dengan menyerahkan hati kita untuk ditaklukkan oleh Kristus yang memampukan kita hari demi hari untuk mematikan keinginan mementingkan diri sendiri dan hidup berkenan di hadapan Allah.
Mari kita setiap hari meminta pertolongan Allah untuk memampukan kita mengasihi Allah dan sesama melalui kebijaksanaan kita dalam berkata-kata terhadap siapapun orang yang kita temui. Bukan hanya apa yang kita katakan, tetapi apa yang kita putuskan untuk tidak dikatakan. Kiranya setiap perkataan kita tidak lagi berpusat pada diri sendiri, melainkan seluruhnya berpusat pada Kristus untuk menyatakan kasih dan rencana-Nya.
* Penulis bekerja di NGO bidang HIV di Jabodetabek
/stl
Sumber:
Perang dengan kata-kata: Mengenali Inti Pergumulan dalam Komunikasi Anda. Paul David Tripp. Penerbit: Momentum Christian Literature.
Ligonier. The Heart of Words. Burk Parsons. https://www.ligonier.org/posts/heart-words
Comments