Sebagai seorang Kristen yang sehari-hari bekerja sebagai dokter kesehatan jiwa, ada pertanyaan menarik yang acap kali saya dengar. “Dok, apakah wajar jika seorang beragama Kristen mengalami depresi?” atau “Apakah depresi merupakan tanda bahwa kita kurang beriman?” Jika kita telaah lebih lanjut, depresi seringkali dipicu oleh keadaan hidup yang sulit dan kondisi dimana sepertinya banyak hal tidak terjadi sesuai harapan. Di samping itu, faktor neurobiologis yang dibahas sebelumnya juga berperan dalam menjelaskan bahwa depresi adalah suatu kondisi medis umum yang dapat mempengaruhi siapa pun.
Tokoh- tokoh Alkitab yang cukup sering kita dengar, seperti Elia dan Daud, pernah mengalami periode keputusasaan yang dalam dan mengalami depresi. Setelah kemenangan Elia yang besar di Gunung Karmel, ratu Izebel mengancam akan membunuhnya. Kemudian, dalam ketakutan dan keputusasaannya, Elia berlari ke padang gurun, lalu berdoa “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.” (1 Raja-Raja 19:4). Di titik terbawah di kehidupannya, Elia, seorang nabi yang taat dan takut akan Allah, mengalami keterpurukan yang begitu hebat. Daud, salah satu tokoh besar di Alkitab, dikenal sebagai a man after God’s own heart juga pernah mengalami depresi dan keputusasaan. Di dalam berbagai Mazmurnya, Daud seringkali mengungkapkan sebuah perasaan sedih, tertekan dan hilang harapan. Menyadari bahwa menjadi seorang yang beriman tidak memberikan imunitas dari kondisi depresi, kita akan dapat membantu menghilangkan stigma dan mendukung mereka yang sedang mengalami depresi untuk mencari bantuan yang diperlukan.
Bila kita lihat lebih jauh, manusia sendiri terdiri dari tubuh, jiwa dan Roh, dimana semua komponen berperan dan saling mempengaruhi agar manusia sehat seutuhnya. Saat manusia jatuh ke dalam dosa, terjadi sebuah kerusakan pada tubuh manusia, seperti dikatakan bahwa manusia akan harus bekerja keras dan proses kelahiran seorang anak pun akan sulit. Hal ini menjelaskan bahwa fungsi biologis manusia tidak lagi sesuai dengan harapan. Jiwa manusia menjadi gelisah dan ketakutan seperti saat Allah berjalan-jalan mencari manusia (lih. Kej.3:8) setelah jatuh ke dalam dosa dan Roh manusia menjadi terpisah dari Allah yang seharusnya menjadi sumber kepuasan dan damai akibat dosa. Mempertimbangkan hal ini, sumber yang menjadi pemicu dari depresi menjadi penting untuk diketahui. Apakah hal ini terjadi akibat tekanan berat dan faktor biologis yang membuat seseorang rentan terhadap depresi? Jika ya, mungkin tepat pemberian pengobatan antidepresan, sama seperti Allah memelihara fisik Elia dengan memberikan makanan, begitu juga kita memperbaiki gangguan biologis seseorang dengan pengobatan. Jika sumber keputusasaan seseorang datang dari perasaan bahwa Allah jauh, maka penting untuk kita dapat mengingatkan bahwa kita selalu dapat berharap pada Allah, sama seperti Daud menulis di Mazmur 42:6-7 “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!" Dengan memahami baik pendekatan spiritual dan medis terhadap depresi, seseorang dapat berjalan ke arah pemulihan dan pembaharuan.
Pertanyaan yang sering menjadi perbincangan adalah apakah seorang Kristen diizinkan menggunakan antidepresan. Terkadang, pendapat orang tentang hal ini sangat ekstrem, ada yang sangat setuju bahwa ini boleh dilakukan dan ada pula yang sangat tidak setuju tanpa mempertimbangkan secara mendalam. Mereka yang setuju biasanya melihat depresi sebagai gangguan biologis semata sehingga menganggap wajar untuk menggunakan obat, mirip dengan pengobatan untuk kondisi medis lain seperti diabetes atau hipertensi. Di sisi lain, orang yang menolak cenderung fokus pada dimensi spiritual, yaitu keyakinan bahwa seseorang yang dekat dengan Tuhan seharusnya tidak mengalami keputusasaan seperti ini, sehingga 'obat' seharusnya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga, penting untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang antara perawatan medis dan dukungan spiritual dalam membantu individu Kristen yang mengalami depresi, memastikan bahwa kita mendapatkan bantuan yang komprehensif dan holistik.
Psikoterapi dan iman Kristen adalah dua pendekatan yang sering kali saling melengkapi dalam membantu individu yang mengalami depresi atau masalah kesehatan mental lainnya. Psikoterapi, seperti terapi kognitif perilaku atau terapi bicara, bertujuan untuk membantu individu memahami dan mengelola pikiran, perasaan, dan perilaku yang mungkin menyebabkan atau memperburuk depresi. Di sisi lain, iman Kristen memberikan landasan spiritual yang kuat, menawarkan harapan, kekuatan, dan pemahaman bahwa Tuhan selalu ada untuk memberikan dukungan dan penghiburan. Ketika digabungkan, psikoterapi dan iman Kristen dapat memberikan dukungan yang komprehensif bagi individu yang sedang mengalami depresi. Psikoterapi membantu dalam proses penyembuhan secara psikologis dan emosional, sementara iman Kristen memperkuat kepercayaan bahwa Tuhan memiliki rencana dan memberikan kekuatan untuk menghadapi cobaan hidup. Dalam konteks ini, banyak orang Kristen yang merasa bahwa melibatkan iman mereka dalam proses psikoterapi membantu mereka menemukan makna yang lebih dalam dalam perjalanan pemulihan mereka.
Sebagai penutup, depresi merupakan keadaan yang sulit dihadapi dan tidak jarang dialami oleh orang Kristen sekalipun. Depresi bukanlah indikasi kekurangan iman, bukan juga kegagalan spiritual, melainkan sebuah gangguan medis yang dapat diobati. Iman bukanlah vaksin atau antidotum untuk depresi. Kasih, belas kasihan, dan persekutuan yang tidak menghakimi dapat menjadi pondasi yang kuat dalam mematahkan stigma ketika tampak perubahan sikap dan perilaku pada saudara-saudara seiman kita, maupun pada hamba Tuhan.
Di saat-saat kelam, perlu kita sadari bahwa mencari bantuan adalah bentuk bukti kekuatan, bukan kelemahan dalam iman. Dengan mengatasi stigma ini, kita dapat lebih mudah mendukung mereka yang membutuhkan untuk mencari pertolongan. Semakin dini depresi ditangani, semakin baik peluang untuk pemulihan. Namun, perlu diingat bahwa proses pemulihan jiwa memerlukan waktu yang tidak sebentar, mungkin berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tergantung dengan kondisi biopsikososial. Dengan iman yang kokoh, dukungan komunitas, dan perawatan medis yang tepat, mereka yang menghadapi depresi dapat kembali menemukan harapan dalam hidup mereka.
Seperti Mazmur 34:18 mengingatkan kita, “TUHAN dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.” Selalu ada harapan dan bantuan yang tersedia bagi jiwa-jiwa yang mencari-Nya!
Penulis merupakan Wakil Dekan Kemahasiswaan, Kepala Departemen Psikiatri, FK UPH - Siloam Hospitals Lippo Village.
/tp
Comments