Compassion berasal dari bahasa Latin Pati yang berarti “to suffer with” atau dapat diartikan sebagai perasaan sangat kuat yang lebih dalam dari simpati disertai keinginan yang besar untuk menolong karena didorong adanya perasaan berbelas-kasihan yang dalam. Compassion dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan belas kasihan, seringkali menjadi alasan seseorang dalam memilih profesi dokter atau tenaga medis lainnya. Seorang dokter yang saya kenal baik, menjadi dokter karena terinspirasi kisah David Livingstone, dokter dan misionaris, yang melayani masyarakat Afrika hingga akhir hidupnya karena didorong oleh belas kasihan pada mereka yang belum mengenal injil dan jauh dari kedokteran modern. Demikian juga ketika saya akhirnya memutuskan untuk menjadi psikiater, hati saya sungguh tergerak ketika melihat kehidupan para ODGJ yang menderita karena penyakitnya dan tambah menderita karena seringkali tidak ada yang mengerti dan menolong mereka, malahan mendapatkan stigma negatif dan perlakuan tidak manusiawi dari orang di sekitarnya.
Seiring berjalannya waktu, melalui sistem pendidikan dan praktek kedokteran, melihat bagaimana teladan senior dalam memperlakukan pasien, serta terlalu banyaknya penderitaan di sekitar kita dapat membuat perasaan menjadi tumpul sebagai bentuk mekanisme pertahanan mental. Besarnya tuntutan pendidikan dan pekerjaan baik secara fisik maupun mental membuat seseorang melihat pasien tidak lagi sebagi subjek belas kasihan tetapi sebagai objek. Misalnya, ketika berjalan di bangsal mungkin beberapa dari kita tidak lagi mengenali pasien dengan nama, melainkan “Bed A pasien kanker stadium terminal status DNR”, bahkan kita seperti kehabisan energi untuk mengenali dan mendalami penderitaan yang dialami pasien tersebut. Setelah beberapa tahun menjalani pendidikan ataupun praktek kedokteran, seringkali dokter menjadi dingin dan datar dalam membicarakan kondisi pasien yang kritis atau memberikan kabar buruk mengenai kondisi pasien kepada keluarga tanpa melibatkan perasaan. Dewasa ini, semakin marak dokter dan tenaga medis yang terlalu sibuk karena banyaknya jumlah pasien dan terburu-buru saat menangani pasien. Pekerjaan menjadi rutinitas melelahkan yang membuatnya kehilangan kepekaan untuk merasakan penderitaan pasien, bahkan hilangnya belas kasihan terhadap pasien ataupun keluarga.
Adakah teladan yang benar-benar menunjukkan kepedulian dan belas kasihan terhadap orang yang dilayani? Saya rasa tidak ada tokoh yang lebih baik dalam menunjukkan teladan pelayanan penuh belas kasihan yang tidak ada habisnya dibanding Yesus sendiri.
Yesus, ditengah kesibukannya, menjadi teladan belas kasihan yang nyata. Yesus tidak pernah tidak sibuk di sepanjang hidup-Nya. Ia memberikan pelayanan-Nya berkeliling mengajar para murid-Nya dan orang banyak serta menyembuhkan banyak orang. Namun, melihat penderitaan di sekeliling tidak pernah menjadikan-Nya terlalu sibuk untuk sekedar berhenti dan menyentuh, bahkan ketika para murid menghalangi orang buta yang berteriak memanggil Yesus, atau perempuan yang dianggap najis karena perdarahan menyentuh jubah Yesus. Yesus melihat lebih jauh daripada yang dilihat para murid-Nya. Dia dapat mengenali kebutuhan terdalam dari penderitaan seseorang. Ketika sedang berjalan melewati Nain, Yesus melihat acara pemakaman seorang janda yang memakamkan putra tunggalnya; “Dan Ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya “Jangan menangis” (Lukas 7:13). Yesus melihat janda tersebut telah kehilangan satu-satunya pengharapan dalam hidup yang membuatnya berduka sangat dalam. Ia sangat tergerak oleh belas kasihan sehingga Ia berhenti dan menghidupkan kembali putra janda tersebut.
Sebagai seorang dokter yang sudah bertahun-tahun menjalankan profesi, menyaksikan ratusan mungkin ribuan kasus yang sama dan begitu banyak penderitaan membuat hati kita mengeras. Hal sederhana seperti menatap mata pasien ketika berbicara, mendengarkan dengan sungguh-sungguh setiap keluhan dan cerita pasien, mencoba memahami kecemasan pasien dan keluarganya, atau memberikan sentuhan yang mungkin sudah jarang kita lakukan. Hati Kristus-lah yang kita butuhkan, hati yang remuk melihat penderitaan sesama, yang menggerakkan kita untuk melakukan tindakan kedokteran kita dengan berbeda. Kita hadir seutuhnya dalam penderitaan pasien dan menolong mereka sehingga dapat merasakan kasih Tuhan mengalir memberikan kelegaan, kesembuhan, dan pemulihan.
Berdoalah - minta hati seperti Yesus dan cara pandang Yesus melihat dunia ini. Biarkanlah Tuhan melembutkan hati kita yang mungkin sudah mengeras agar dapat melayani pasien-pasien yang kita hadapi dengan penuh belas kasihan. Bangunlah hubungan pribadi dengan Tuhan setiap hari, yang menjaga hati kita tetap selaras dengan hati Tuhan, agar kita memiliki kepekaan untuk melihat dan mengetahui apa yang akan Yesus lakukan ketika berhadapan dengan situasi tertentu. Seperti layaknya dua orang sahabat yang saling memiliki perasaan dan mengetahui persis apa yang disukai dan tidak disukai sahabatnya karena kedekatan relasi serta pengenalan yang baik. Jangan tinggalkan hubungan pribadi dengan Tuhan, jangan tinggalkan persekutuan pribadi kita dengan-Nya setiap hari agar memiliki kepekaaan dan hati seperti Kristus.
*Penulis saat ini melayani sebagai psikiater di Jakarta
/stl
Comments