top of page
Hendra P Sitompul

Bagian Pertama: Sudahkah kita menantikan Sang Mesias dengan respon yang benar di masa Natal ini?



Saat ini kita kembali memasuki masa Natal di penghujung tahun 2024. Pertanyaan yang patut kita renungkan sebagai orang percaya adalah apa yang sudah ataupun sedang kita persiapkan? Siapakah atau apakah yang kita nantikan? Bagaimana kita meresponi masa Natal ini? Sembari kita merefleksikan pertanyaan-pertanyaan di atas, penulis mengajak untuk kita dapat melihat kembali apa yang tertulis di Alkitab tentang tiga kelompok orang yang berespon terhadap berita lahirnya Sang Mesias yaitu kelompok orang yang tidak menantikan, ingin terlihat seakan menantikan, dan yang benar menantikan kehadiran Sang Mesias. Bagaimana respon mereka dan hal apa yang dapat kita pelajari dari mereka (baca Matius 2:1-18).


Setelah bangsa Israel secara bertahap kembali ke Yerusalem dari pembuangan di Babel sejak tahun 537/538 SM, pembangunan Bait Allah dan pembacaan Taurat kembali dilakukan setelah sekian lama. Namun, pengembalian jati diri dan identitas sebagai umat Allah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pengaruh budaya asing dan penyembahan ilah-ilah dari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah rupanya begitu kental mempengaruhi bangsa Israel. Kawin campur, pelanggaran pada hukum Taurat seperti pengabaian perpuluhan dan hari Sabat, serta moralitas yang rusak akibat pengaruh budaya asing, terutama dari budaya Helenistik yang dominan, menjadi gambaran kondisi buruk bangsa Israel saat itu. Ditambah lagi dengan bangsa-bangsa lain yang menjajah mereka silih berganti dari Persia, Yunani, sampai dengan Romawi. Di masa-masa tersebut, orang Yahudi merasa begitu terpuruk dan menderita sehingga janji akan keselamatan oleh Sang Mesias menjadi pengharapan mereka satu-satunya. Sayangnya, masa-masa penantian tersebut diperburuk dengan tidak adanya suara Tuhan. Masa tersebut disebut sebagai masa keheningan 400 tahun, yaitu sejak 420 SM (masa Maleakhi) sampai abad ke 1. Inilah salah satu masa terburuk bagi bangsa Israel, bukan hanya karena kondisi hidup mereka, tetapi juga karena ketiadaan wahyu Allah.


  1. Yang tidak menantikan Sang Mesias

    Respon pertama atas berita kelahiran Sang Mesias yang akan kita pelajari adalah respon dari Herodes. Para majus dari timur tiba di Yerusalem untuk menemukan Sang Mesias. Namun, respon Herodes malah terkejut (Mat. 2:3). Kata “terkejut” tersebut menggunakan bahasa Yunani ταράσσω, yang menurut Craig Bloomberg seorang teolog Perjanjian Baru, lebih tepat diterjemahkan sebagai “dalam kekacauan” atau bahkan “ketakutan”. Kenapa Herodes ketakutan? Herodes, raja Yudea saat itu, merupakan keturunan Edom yang cukup familiar terhadap nubuatan Sang Mesias dan Kerajaan-Nya. Setelah 35 tahun bertahta sebagai raja kecil, kabar penggenapan janji Allah membuatnya iri hati dan takut kehilangan jabatannya sebagai ‘raja’. Bukan saja ia berharap bahwa penggenapan janji tersebut gagal, Herodes tidak ragu untuk melakukan segala cara demi menggagalkan hadirnya Sang Mesias dengan caranya sendiri. Ia menggali informasi dari para majus dan bahkan mengumpulkan imam kepala dan para ahli Taurat bangsa Yahudi untuk bisa mendapatkan lokasi dan waktu yang tepat terkait lahirnya Sang Raja. Hati jahatnya pun mengakibatkan tangis dan ratapan yang teramat sedih bagi para ibu yang kehilangan anak akibat rasa takut dan cemburu si raja kecil (Mat. 2:16-18). Bagaimana dengan kita saat ini? Mungkin sebagian dari kita berkata “Jelas aku bukan seperti Herodes yang ingin membunuh Yesus!”. Namun dengan tidak menempatkan Kristus sebagai satu-satunya Raja dalam kehidupan kita, kita tidak berbeda dengan Herodes. Sikap hati yang ingin bebas mendefinisikan apapun, tidak mau tunduk pada kebenaran Firman Tuhan, dan hanya mau mendengarkan apa yang mau kita dengar, merupakan ciri sikap hati “raja kecil” yang menganggap kebenaran Allah sebagai ancaman terhadap otoritas keakuan diri kita, yang pada akhirnya secara sadar atau tidak menjadikan Tuhan sebagai “musuh” yang kehadiran-Nya merupakan gangguan bagi kenyamanan diri dalam keberdosaan.


  2. Yang sepertinya menantikan Sang Mesias

    Kelompok orang yang kedua adalah para imam kepala dan ahli Taurat. Menariknya di masa ketika Allah ”diam”, bangkitlah dua kelompok keagamaan utama Yahudi yaitu yang disebut Farisi yang terkenal legalistik dan kelompok Saduki yang dikenal sangat liberal. Para Imam dan ahli Taurat ini tentu bisa menjawab dengan sangat akurat saat Herodes bertanya di mana Mesias akan dilahirkan, “Di Bethlehem, di tanah Yudea…” seperti yang tertulis di Mikha 5:1. Imam kepala merupakan pemimpin agama Yahudi dengan jabatan tertinggi yang mengemban tugas utama untuk mengawasi jalannya ibadah di Bait Suci, sedangkan ahli Taurat memang bertugas untuk mempelajari hukum Taurat (atau Perjanjian Lama bagi orang Kristen). Sehingga, sudah tidak heran mereka begitu memahami nubuat terkait kedatangan Mesias yang dijanjikan. Dan sebagai pemimpin agama, seharusnya pengetahuan mereka diikuti dengan kerinduan yang teramat dalam akan datangnya Sang Mesias ”untuk membebaskan umat Allah dari penjajahan bangsa Romawi kala itu” (hal ini pun merupakan interpretasi superfisial dan keliru). Namun, respon imam kepala dan para ahli Taurat hanya berhenti di situ. Mereka menjawab pertanyaan Herodes yang sedang kebakaran jenggot tentang Kristus yang sudah lahir. Lalu, mereka mungkin kembali ke aktivitas hidup keagamaan mereka tanpa aksi apapun. Sebagai pemimpin yang harusnya sadar akan kondisi buruk bangsanya, mereka harusnya jadi pihak yang paling merindukan penggenapan janji kedatangan Mesias. Sudah seharusnya mereka berespon dengan segera ikut para majus untuk menyambut kehadiran Sang Raja. Mesias yang dinanti-nantikan telah lahir, tunggu apa lagi?! Sangat disayangkan, mereka tidak melakukan apa-apa. Pemahaman kognitif yang dalam tentang Firman Tuhan tidak serta merta membuahkan respon yang benar di hadapan Tuhan. Orang Kristen yang sepertinya terlihat rajin menggali kebenaran Alkitab dan pergi beribadah, belum tentu benar-benar menanti-nantikan Kristus. Banyak yang melakukannya hanya untuk memuaskan otak atau memuaskan perasaan atau memang sekedar mencari nafkah dengan profesi rohaniawan. Kristus hanya penting selama mendatangkan keuntungan.


Sudah sejauh mana kita mempersiapkan diri di masa Natal ini? Benarkah Sang Mesias yang kita nanti-nantikan? Sejauh mana kita menyadari kemerosotan kita sehingga menyadari signifikansi kedatangan Kristus? Kiranya refleksi dari tulisan ini mendorong setiap kita yang membaca untuk sungguh-sungguh merindukan pengenalan yang sejati akan Allah melalui momen Natal di bulan ini. Minggu depan, kita akan melanjutkan untuk mempelajari respon kelompok orang yang ketiga yaitu yang menantikan Sang Mesias dan berespon dengan benar atas kelahiran Sang Raja Damai.


136 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


Hubungi Kami
bottom of page